Kami menghabiskan beberapa jam di sana, berbicara tentang masa lalu, tentang Belitung, dan tentang hidup yang sudah jauh lebih sederhana setelah masa-masa sibuk berlalu. Di setiap cerita yang mereka bagikan, aku bisa merasakan betapa besar cinta mereka, yang telah teruji oleh waktu. Cinta yang tak lekang dimakan usia, yang semakin kuat seiring berjalannya waktu, seperti batu granit Belitung yang kokoh dan tak tergoyahkan oleh badai kehidupan.
Dalam perjalanan pulang, aku memeluk lengan Rizal dengan erat. "Makasih ya, sudah membawaku ke Belitung," kataku dengan suara yang penuh haru, seolah hati ini ingin mengungkapkan lebih banyak kata yang tidak terucapkan.
"Kenapa tiba-tiba?" tanya Rizal, terkejut dengan perubahan ekspresiku.
"Aku baru saja melihat definisi cinta yang sesungguhnya," jawabku, mataku berkaca-kaca, seolah setiap emosi yang belum sempat diungkapkan kini muncul begitu saja. "Yang tidak luntur dimakan waktu."
Sejak itu, aku sering mengunjungi Bu Mariam. Kadang aku membawakan kue, atau sekadar menemaninya di beranda sambil mendengarkan cerita-cerita tentang Belitung tempo dulu, tentang masa-masa sulit dan indah yang mereka lalui bersama. Pak Iskandar selalu ada di sisinya, merawatnya dengan sabar dan penuh kasih. Tak pernah sekalipun kudengar dia mengeluh tentang peranannya sebagai suami yang setia.
Dari mereka, aku belajar bahwa cinta sejati itu seperti batu granit Belitung -- kokoh dan tak tergoyahkan oleh badai kehidupan. Cinta adalah tentang kesetiaan yang tak lekang oleh waktu, tentang bertahan dalam setiap ujian yang datang, tentang menerima pasangan apa adanya, dan yang terpenting, cinta adalah tentang menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan hidup bersama, seperti deburan ombak yang setia menyapa pantai setiap harinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H