Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Pena Menulis Takdir

3 Desember 2024   13:06 Diperbarui: 3 Desember 2024   13:08 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : edit by Canva 

"Masuk, Dani. Kebetulan sekali, kami sedang membicarakanmu," ujar Bu Sarah ramah, berusaha mencairkan kegugupan yang terpancar dari wajah siswa itu.

Dani mengerjapkan mata, jelas terkejut. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. "Sa-saya? Ada masalah apa, Bu?" Dalam pikirannya berkecamuk berbagai kemungkinan buruk tentang nilai-nilai ujiannya yang selalu pas-pasan.

"Tidak ada masalah. Justru kami sedang mendiskusikan bakatmu dalam menulis. Pak Rudi bilang kamu sangat aktif di klub jurnalistik?"

Seketika, raut wajah Dani berubah. Binar di matanya muncul, menggantikan kecemasan yang tadi terpancar. Selama setengah jam berikutnya, ia bercerita dengan menggebu-gebu tentang berbagai proyek penulisan yang sedang ia kerjakan. Tangannya bergerak lincah menggambarkan ide-idenya di udara, suaranya penuh semangat saat menjelaskan tentang cerpen untuk majalah sekolah hingga proposal kampanye literasi yang ia rintis bersama teman-temannya.

Bu Sarah dan Pak Rudi saling bertukar pandang penuh arti. Di hadapan mereka, seorang siswa yang dianggap "bermasalah" dalam nilai ujian tertulis justru menunjukkan passion dan kemampuan luar biasa dalam bidang yang sama. Ruangan yang tadinya hening kini dipenuhi energi positif dari semangat seorang remaja yang akhirnya menemukan tempat untuk bersinar.

Keesokan harinya, dalam rapat guru yang diselimuti aroma kopi dan biskuit, Bu Sarah membagikan pengalamannya bertemu Dani. Matanya memancarkan keyakinan saat ia berdiri di depan rekan-rekannya. "Ini adalah contoh nyata mengapa kita perlu sistem penilaian yang lebih komprehensif," jelasnya dengan suara mantap. "Ujian tertulis memang penting, tapi itu hanya salah satu aspek. Kita perlu menilai siswa dari tiga dimensi: pengetahuan, sikap, dan keterampilan."

"Tapi bukankah ujian nasional tetap menjadi standar utama?" tanya Bu Tini, guru matematika senior yang terkenal konservatif. Kerutan di dahinya menunjukkan keraguan akan perubahan yang diusulkan.

"Benar, dan kita tetap akan mempersiapkan siswa untuk itu. Tapi mulai semester depan, saya usulkan untuk menerapkan sistem portofolio yang mencakup projek-projek kreatif, aktivitas ekstrakurikuler, dan penilaian sikap. Misalnya, untuk pelajaran Bahasa Indonesia, selain ujian tertulis, siswa bisa mengumpulkan karya tulis mereka sepanjang semester."

Ruang rapat seketika dipenuhi berbagai tanggapan. Beberapa guru berbisik-bisik dengan nada khawatir, yang lain mengangguk-angguk setuju. Pak Rudi, yang duduk di pojok ruangan, tersenyum lebar mendukung ide tersebut. Diskusi berlangsung alot selama dua jam, diselingi debat panas dan tawa ringan.

Seminggu kemudian, sistem baru mulai diterapkan. Koridor sekolah yang biasanya sepi seusai jam pelajaran kini mulai ramai dengan berbagai kegiatan. Dani dan teman-temannya terkejut sekaligus gembira ketika mengetahui bahwa aktivitas mereka di klub dan organisasi sekolah juga akan dinilai. "Jadi menulis untuk majalah dinding juga masuk nilai, Bu?" tanya Dani dengan mata berbinar, seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Tentu saja," jawab Bu Sarah sambil tersenyum hangat. "Karena pendidikan bukan hanya soal menjawab soal ujian dengan benar, tapi juga bagaimana kalian mengaplikasikan pengetahuan itu dalam kehidupan nyata."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun