Sore itu, sinar matahari yang keemasan menerobos masuk melalui jendela ruang wakil kepala sekolah, menciptakan bayangan panjang dari tumpukan kertas ujian di meja Bu Sarah. Aroma kopi yang mulai mendingin tercium samar dari cangkir putih di sudut meja. Bu Sarah menghela napas panjang, memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. Lima belas tahun mengajar telah mengajarinya banyak hal, tapi tahun pertamanya sebagai wakil kepala sekolah bidang kurikulum terasa berbeda. Lebih menantang, lebih membebani pikirannya.
'Apakah sistem yang selama ini kita terapkan sudah benar-benar mengukur kemampuan anak-anak?' Pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya, sementara matanya menelusuri angka-angka yang tertera di lembar jawaban siswa. Setiap angka seolah menyimpan cerita tersendiri tentang perjuangan para siswanya.
"Bu Sarah, ada waktu sebentar?" Suara Pak Rudi, guru Bahasa Indonesia yang baru mengajar dua tahun, memecah keheningan. Pria muda berkacamata itu berdiri di ambang pintu dengan raut wajah yang tampak gelisah.
"Silakan masuk, Pak Rudi. Ada yang bisa saya bantu?" Bu Sarah menegakkan punggungnya, berusaha mengenyahkan lelah yang mulai merambati tubuhnya.
Pak Rudi mengambil kursi di hadapan Bu Sarah, jemarinya saling bertaut menunjukkan kegelisahan. Dalam hati, ia merasa bersalah karena harus menambah beban pikiran seniornya ini, tapi ia tak punya pilihan. "Ini soal Dani, Bu. Nilai ujian tertulisnya selalu di bawah KKM, tapi..." ia terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat.
"Tapi?" Bu Sarah menaikkan alisnya, tertarik.
"Saya lihat dia sangat aktif di klub jurnalistik. Tulisan-tulisan di majalah dinding dan blog sekolah sebagian besar adalah karyanya. Setiap kali saya membaca tulisannya, saya merasa ada sesuatu yang istimewa. Ada jiwa dalam setiap katanya." Pak Rudi menjelaskan dengan menggebu-gebu, matanya berbinar menggambarkan kekagumannya pada bakat siswanya.
Bu Sarah tersenyum penuh arti. Dalam benaknya, berkelebat ingatan tentang puluhan siswa serupa yang ia temui selama karirnya. Siswa-siswa berbakat yang terkadang 'tenggelam' dalam sistem penilaian konvensional. "Justru ini yang ingin saya bahas dalam rapat besok, Pak Rudi. Kita perlu mengubah cara pandang kita tentang penilaian."
Seakan diatur oleh takdir, terdengar ketukan pelan di pintu. Dani, dengan rambut sedikit berantakan dan kemeja seragam yang sudah tidak serapi pagi tadi, berdiri gugup membawa sebuah map biru. "Permisi, Bu. Saya mau menyerahkan naskah untuk lomba esai tingkat nasional."
Bu Sarah merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Di hadapannya berdiri bukti nyata dari apa yang selama ini menggangu pikirannya - seorang siswa dengan bakat luar biasa yang mungkin tidak akan terlihat jika hanya dinilai dari angka-angka di kertas ujian.