Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jejak Kasih Sang Guru

2 Desember 2024   18:31 Diperbarui: 2 Desember 2024   21:36 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: id.pngtree.com

Mentari pagi mengintip malu-malu di balik awan kelabu yang menggantung di langit Jakarta. Bu Ratna memandang ke luar jendela ruang guru, menatap halaman sekolah yang masih sepi. Daun-daun kemuning bergoyang pelan ditiup angin, menjatuhkan beberapa tetesan embun pagi ke tanah. Dalam hatinya berkecamuk berbagai pikiran tentang tantangan yang akan dihadapinya hari ini.

Sudah lima belas tahun ia mengajar di SMP Nusantara, sekolah yang berdiri kokoh di tengah permukiman padat penduduk ini. Selama karirnya, ia telah menghadapi berbagai macam karakter siswa. Namun hari ini berbeda---hari pertamanya mengajar di kelas 9C, kelas yang terkenal paling "menantang" di sekolah. Bu Ratna menghela nafas panjang, mengingat cerita-cerita yang beredar tentang kelas itu.

"Bu Ratna yakin mau mengambil kelas 9C?" suara Pak Hendra, wakil kepala sekolah, membuyarkan lamunannya. Pria paruh baya berkacamata itu baru saja masuk ke ruang guru, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang nyata. "Sudah tiga guru mengundurkan diri dari kelas itu dalam satu semester. Anak-anaknya susah diatur. Saya khawatir Ibu akan mengalami hal yang sama."

Bu Ratna tersenyum tenang, matanya menyiratkan keyakinan yang dalam. Dalam benaknya terbayang wajah-wajah muda yang menunggu di kelas 9C---wajah-wajah yang mungkin menyimpan banyak cerita dan luka yang tak terucap. "Justru itu, Pak. Saya rasa mereka butuh pendekatan yang berbeda. Setiap anak punya kebaikan dalam dirinya, tugas kita hanya membantu mereka menemukannya."

Dengan langkah mantap, Bu Ratna memasuki kelas 9C. Suasana riuh langsung menyambutnya bagaikan pasar pagi yang sedang ramai. Aroma pengap bercampur dengan wangi kapur baru dan sisa-sisa sampah kertas berserakan di lantai. Beberapa siswa masih berlarian, yang lain sibuk mengobrol dengan suara keras, bahkan ada yang bermain lempar-lemparan kertas. Di sudut kelas, seorang siswi berjilbab pink duduk sendiri, matanya tertunduk seolah ingin menghilang dari keriuhan itu.

"Selamat pagi, anak-anak," sapa Bu Ratna dengan suara lembut namun tegas. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat beberapa siswa menoleh. Perlahan, kelas mulai tenang, meski beberapa masih berbisik-bisik, melemparkan pandangan menilai pada guru baru mereka.

Di sudut belakang kelas, Dani---siswa yang terkenal paling bandel---sengaja menjatuhkan bukunya dengan keras. Suara "BRAK!" memecah keheningan yang baru terbentuk. Tawa tertahan terdengar dari beberapa sudut. Dani tersenyum puas, dalam hatinya ia penasaran, apakah guru baru ini akan bereaksi seperti guru-guru sebelumnya---marah, membentak, atau bahkan keluar kelas dengan frustrasi.

Namun Bu Ratna mengejutkannya. Wanita berusia empat puluhan itu justru menghampiri Dani dengan senyum tulus di wajahnya. Ia membungkuk, membantu mengambil buku yang terjatuh. "Terima kasih, Dani. Kamu sudah membantu saya memastikan semua teman-teman sudah siap belajar."

Dani terdiam, matanya melebar tidak percaya. Selama ini, tak ada guru yang menanggapi kenakalannya dengan kelembutan seperti ini. Biasanya ia akan langsung mendapat bentakan atau hukuman. Untuk pertama kalinya, ia merasa kehilangan kata-kata.

Hari-hari pertama memang tidak mudah. Setiap pagi, Bu Ratna mempersiapkan diri dengan segelas teh hangat dan doa panjang. Ia harus menghadapi berbagai kenakalan: dari yang ringan seperti tidak mengerjakan PR, sampai yang berat seperti perkelahian antar siswa. Di rumah, suaminya sering mendapati Bu Ratna tengah menulis catatan tentang setiap siswanya---mencoba memahami latar belakang dan masalah mereka masing-masing.

Namun ia tetap konsisten dengan pendekatannya: tidak pernah membentak, selalu mendengarkan, dan memberikan kesempatan kedua. Dalam hatinya, ia selalu mengingat bahwa di balik setiap perilaku buruk, ada seorang anak yang mungkin hanya butuh perhatian dan pemahaman.

Suatu hari, Rina dan Sari terlibat pertengkaran hebat di kelas karena saling mengejek. Bukannya langsung menghukum, Bu Ratna mengajak keduanya bicara di perpustakaan saat istirahat. Aroma buku-buku tua dan AC yang sejuk menciptakan suasana yang lebih tenang.

"Coba ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Bu Ratna sambil menuangkan dua gelas teh untuk mereka. Matanya memancarkan kehangatan seorang ibu, bukan kemarahan seorang guru yang siap menghakimi.

Awalnya keduanya diam, tenggelam dalam ego masing-masing. Sari sesekali mengusap matanya yang basah, sementara Rina memainkan ujung seragamnya dengan gelisah. Bu Ratna menunggu dengan sabar, memberi mereka ruang untuk menenangkan diri.

Perlahan-lahan, tembok keangkuhan mulai runtuh. Sari mulai bercerita dengan suara bergetar tentang ejekan Rina mengenai keluarganya yang miskin. Rina, dengan mata berkaca-kaca, mengaku bahwa ia hanya membalas karena Sari sering mengejek nilainya yang jelek. Ternyata masalahnya bermula dari kesalahpahaman kecil yang membesar karena gengsi.

"Kalian tahu," Bu Ratna berkata lembut setelah keduanya selesai bercerita, "terkadang kata-kata yang menyakitkan keluar karena kita sendiri sedang terluka. Bagaimana kalau kita coba memahami satu sama lain?" Ia kemudian membantu mereka melihat dari sudut pandang yang berbeda, mengajarkan bahwa empati lebih kuat daripada amarah.

Sejak saat itu, Rina dan Sari justru menjadi sahabat dekat. Mereka sering terlihat belajar bersama---Rina membantu Sari dengan pelajaran matematika, sementara Sari berbagi bekal makan siang yang selalu dibuatkan ibunya dengan penuh kasih sayang.

Perubahan mulai terlihat setelah dua bulan. Dani, yang dulunya sering bolos dan menjadi provokator keributan, kini rajin masuk kelas. Matanya yang dulu selalu memancarkan tantangan, kini mulai menunjukkan kilau semangat belajar. Bahkan ia mulai mengajak teman-temannya untuk tidak membolos.

"Bu Ratna beda dari guru-guru lain," kata Dani suatu sore kepada teman-temannya di kantin sekolah. Tangannya mengaduk es teh yang tinggal separuh. "Beliau tidak pernah marah-marah atau menghukum kita. Malah selalu bantuin kalau kita kesulitan. Tau nggak? Kemarin beliau datang ke rumah pas tau aku nggak masuk karena sakit."

Suatu hari, terjadi insiden yang mengejutkan. Alex, siswa pendiam yang sering di-bully karena penampilannya yang kurang rapi dan kacamatanya yang tebal, tiba-tiba mengamuk di kelas. Matanya memerah menahan tangis dan amarah, tangannya terkepal erat siap memukul Reza yang selama ini sering mengganggunya.

Namun sebelum tinju itu melayang, Dani---yang dulu dikenal sebagai pembuat onar---justru yang melerai mereka. Ia berdiri di antara Alex dan Reza, tangannya terentang seperti yang sering dilakukan Bu Ratna saat menenangkan pertengkaran.

"Hei, kita kan sudah sepakat tidak ada kekerasan di kelas ini," kata Dani, meniru kata-kata yang sering diucapkan Bu Ratna. Suaranya tenang tapi tegas. "Ayo diselesaikan baik-baik. Bu Ratna sudah mengajari kita cara yang lebih baik, kan?"

Bu Ratna yang menyaksikan kejadian itu dari pintu kelas tersenyum haru, matanya berkaca-kaca. Dalam diamnya, ia melihat bagaimana anak-anak mulai mengadopsi cara-caranya dalam menyelesaikan masalah. Seperti rantai kebaikan yang terus tersambung, mereka mulai belajar bahwa kekerasan bukan jalan keluar.

Menjelang akhir semester, kelas 9C berubah drastis. Ruangan yang dulunya selalu berantakan kini tertata rapi. Tidak ada lagi perkelahian atau bullying. Nilai-nilai mereka membaik, dan yang lebih penting, mereka mulai peduli satu sama lain. Bahkan Alex yang pendiam kini punya kelompok belajar sendiri.

Saat upacara akhir semester, kepala sekolah memanggil Bu Ratna ke depan. Matahari pagi yang hangat menyinari wajahnya yang teduh. "Bu Ratna telah membuktikan bahwa dengan kesabaran dan kasih sayang, perubahan itu mungkin. Kelas 9C yang dulunya terkenal bermasalah, kini menjadi contoh bagi kelas-kelas lain."

Setelah upacara, Dani menghampiri Bu Ratna dengan mata berkaca-kaca. Angin sepoi-sepoi memainkan daun-daun kemuning yang mulai menguning, menciptakan musik alam yang lembut. "Bu, saya mau minta maaf untuk semua kelakuan saya dulu," suaranya bergetar menahan emosi. "Dan... terima kasih ya, Bu. Berkat Ibu, saya jadi paham kalau menghormati orang lain itu lebih keren daripada sok jagoan."

Bu Ratna memeluk Dani dengan hangat, membiarkan air matanya menetes. Dalam benaknya terngiang kata-kata ibunya dulu: "Mengajar itu bukan sekadar mentransfer ilmu, tapi juga menanam benih kebaikan dalam hati setiap murid."

Sore itu, sambil membereskan tasnya, Bu Ratna kembali memandang ke luar jendela. Cahaya senja keemasan menyinari halaman sekolah yang dulu sering menjadi tempat perkelahian. Kini, tempat itu dipenuhi siswa yang bermain dan belajar bersama dengan damai. Beberapa anak terlihat sedang membantu temannya yang kesulitan dengan PR, yang lain berbagi bekal sambil tertawa riang.

Ia tersenyum, menyadari bahwa perubahan memang butuh waktu dan kesabaran, tapi dengan cinta dan pengertian, tidak ada yang tidak mungkin. Dalam hatinya, ia bersyukur telah memilih jalan ini---jalan untuk menjadi lebih dari sekadar guru, tapi juga pelita yang menerangi masa depan anak-anak didiknya.

Di papan pengumuman sekolah, tertulis quotes minggu ini yang diusulkan oleh siswa kelas 9C: "Kekerasan melahirkan kekerasan, tapi kasih sayang melahirkan kedamaian." Di bawahnya, dengan tulisan tangan yang rapi, tertulis tambahan: "Terima kasih, Bu Ratna, telah mengajarkan kami arti kasih sayang yang sesungguhnya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun