Namun ia tetap konsisten dengan pendekatannya: tidak pernah membentak, selalu mendengarkan, dan memberikan kesempatan kedua. Dalam hatinya, ia selalu mengingat bahwa di balik setiap perilaku buruk, ada seorang anak yang mungkin hanya butuh perhatian dan pemahaman.
Suatu hari, Rina dan Sari terlibat pertengkaran hebat di kelas karena saling mengejek. Bukannya langsung menghukum, Bu Ratna mengajak keduanya bicara di perpustakaan saat istirahat. Aroma buku-buku tua dan AC yang sejuk menciptakan suasana yang lebih tenang.
"Coba ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Bu Ratna sambil menuangkan dua gelas teh untuk mereka. Matanya memancarkan kehangatan seorang ibu, bukan kemarahan seorang guru yang siap menghakimi.
Awalnya keduanya diam, tenggelam dalam ego masing-masing. Sari sesekali mengusap matanya yang basah, sementara Rina memainkan ujung seragamnya dengan gelisah. Bu Ratna menunggu dengan sabar, memberi mereka ruang untuk menenangkan diri.
Perlahan-lahan, tembok keangkuhan mulai runtuh. Sari mulai bercerita dengan suara bergetar tentang ejekan Rina mengenai keluarganya yang miskin. Rina, dengan mata berkaca-kaca, mengaku bahwa ia hanya membalas karena Sari sering mengejek nilainya yang jelek. Ternyata masalahnya bermula dari kesalahpahaman kecil yang membesar karena gengsi.
"Kalian tahu," Bu Ratna berkata lembut setelah keduanya selesai bercerita, "terkadang kata-kata yang menyakitkan keluar karena kita sendiri sedang terluka. Bagaimana kalau kita coba memahami satu sama lain?" Ia kemudian membantu mereka melihat dari sudut pandang yang berbeda, mengajarkan bahwa empati lebih kuat daripada amarah.
Sejak saat itu, Rina dan Sari justru menjadi sahabat dekat. Mereka sering terlihat belajar bersama---Rina membantu Sari dengan pelajaran matematika, sementara Sari berbagi bekal makan siang yang selalu dibuatkan ibunya dengan penuh kasih sayang.
Perubahan mulai terlihat setelah dua bulan. Dani, yang dulunya sering bolos dan menjadi provokator keributan, kini rajin masuk kelas. Matanya yang dulu selalu memancarkan tantangan, kini mulai menunjukkan kilau semangat belajar. Bahkan ia mulai mengajak teman-temannya untuk tidak membolos.
"Bu Ratna beda dari guru-guru lain," kata Dani suatu sore kepada teman-temannya di kantin sekolah. Tangannya mengaduk es teh yang tinggal separuh. "Beliau tidak pernah marah-marah atau menghukum kita. Malah selalu bantuin kalau kita kesulitan. Tau nggak? Kemarin beliau datang ke rumah pas tau aku nggak masuk karena sakit."
Suatu hari, terjadi insiden yang mengejutkan. Alex, siswa pendiam yang sering di-bully karena penampilannya yang kurang rapi dan kacamatanya yang tebal, tiba-tiba mengamuk di kelas. Matanya memerah menahan tangis dan amarah, tangannya terkepal erat siap memukul Reza yang selama ini sering mengganggunya.
Namun sebelum tinju itu melayang, Dani---yang dulu dikenal sebagai pembuat onar---justru yang melerai mereka. Ia berdiri di antara Alex dan Reza, tangannya terentang seperti yang sering dilakukan Bu Ratna saat menenangkan pertengkaran.