Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jejak Kasih Sang Guru

2 Desember 2024   18:31 Diperbarui: 2 Desember 2024   21:36 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hei, kita kan sudah sepakat tidak ada kekerasan di kelas ini," kata Dani, meniru kata-kata yang sering diucapkan Bu Ratna. Suaranya tenang tapi tegas. "Ayo diselesaikan baik-baik. Bu Ratna sudah mengajari kita cara yang lebih baik, kan?"

Bu Ratna yang menyaksikan kejadian itu dari pintu kelas tersenyum haru, matanya berkaca-kaca. Dalam diamnya, ia melihat bagaimana anak-anak mulai mengadopsi cara-caranya dalam menyelesaikan masalah. Seperti rantai kebaikan yang terus tersambung, mereka mulai belajar bahwa kekerasan bukan jalan keluar.

Menjelang akhir semester, kelas 9C berubah drastis. Ruangan yang dulunya selalu berantakan kini tertata rapi. Tidak ada lagi perkelahian atau bullying. Nilai-nilai mereka membaik, dan yang lebih penting, mereka mulai peduli satu sama lain. Bahkan Alex yang pendiam kini punya kelompok belajar sendiri.

Saat upacara akhir semester, kepala sekolah memanggil Bu Ratna ke depan. Matahari pagi yang hangat menyinari wajahnya yang teduh. "Bu Ratna telah membuktikan bahwa dengan kesabaran dan kasih sayang, perubahan itu mungkin. Kelas 9C yang dulunya terkenal bermasalah, kini menjadi contoh bagi kelas-kelas lain."

Setelah upacara, Dani menghampiri Bu Ratna dengan mata berkaca-kaca. Angin sepoi-sepoi memainkan daun-daun kemuning yang mulai menguning, menciptakan musik alam yang lembut. "Bu, saya mau minta maaf untuk semua kelakuan saya dulu," suaranya bergetar menahan emosi. "Dan... terima kasih ya, Bu. Berkat Ibu, saya jadi paham kalau menghormati orang lain itu lebih keren daripada sok jagoan."

Bu Ratna memeluk Dani dengan hangat, membiarkan air matanya menetes. Dalam benaknya terngiang kata-kata ibunya dulu: "Mengajar itu bukan sekadar mentransfer ilmu, tapi juga menanam benih kebaikan dalam hati setiap murid."

Sore itu, sambil membereskan tasnya, Bu Ratna kembali memandang ke luar jendela. Cahaya senja keemasan menyinari halaman sekolah yang dulu sering menjadi tempat perkelahian. Kini, tempat itu dipenuhi siswa yang bermain dan belajar bersama dengan damai. Beberapa anak terlihat sedang membantu temannya yang kesulitan dengan PR, yang lain berbagi bekal sambil tertawa riang.

Ia tersenyum, menyadari bahwa perubahan memang butuh waktu dan kesabaran, tapi dengan cinta dan pengertian, tidak ada yang tidak mungkin. Dalam hatinya, ia bersyukur telah memilih jalan ini---jalan untuk menjadi lebih dari sekadar guru, tapi juga pelita yang menerangi masa depan anak-anak didiknya.

Di papan pengumuman sekolah, tertulis quotes minggu ini yang diusulkan oleh siswa kelas 9C: "Kekerasan melahirkan kekerasan, tapi kasih sayang melahirkan kedamaian." Di bawahnya, dengan tulisan tangan yang rapi, tertulis tambahan: "Terima kasih, Bu Ratna, telah mengajarkan kami arti kasih sayang yang sesungguhnya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun