Mentari pagi memancar lembut melalui jendela kamarku, menyinari tumpukan buku dan sketsa yang berserakan di meja. Cahaya kuning keemasan itu seolah membawa secercah harapan di tengah kegelisahan hatiku. Aku, Aria, duduk terdiam sambil memandangi deretan foto teman-temanku di dinding. Semuanya tampak begitu sempurna: prestasi akademis cemerlang, pengalaman organisasi mengesankan, bahkan sudah mulai merintis bisnis kecil-kecilan.
Kamarku adalah saksi bisu pergolakan batinku. Dinding berwarna krem pucat ini menyimpan jutaan mimpi yang selama ini aku sembunyikan. Setiap sudut ruangan berbicara tentang diriku - sketsa yang belum selesai, buku-buku seni yang terbuka setengah, dan beberapa kanvas kosong yang menunggu sentuhan pertama. Pikiran berkecamuk seperti awan mendung di musim penghujan. Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban berputar-putar dalam kepalaku: Siapakah diriku sebenarnya? Akankah aku bisa memenuhi harapan orangtua? Atau akankah aku memilih untuk mendengarkan suara hatiku sendiri?
Dan di situlah aku, terpaku dengan segudang pertanyaan dan keraguan.
Sejak kecil, aku selalu merasa berbeda. Teman-temanku dengan mudah mengikuti alur yang sudah ditetapkan: nilai bagus, masuk ekskul favorit, meraih prestasi. Sementara aku? Selalu merasa tersesat di antara ekspektasi dan kenyataan. Setiap kali melihat mereka bergerak dengan percaya diri, hatiku mencelos. Aku seperti serpihan kaca yang tidak pas dengan bingkai yang sudah ditentukan.
Ayahku seorang pengusaha sukses, ibuku seorang dokter terkenal. Mereka selalu memiliki harapan tinggi padaku. "Aria," kata mereka, "kamu harus mengikuti jejak kami. Masa depan sudah terukir dengan jelas." Seolah hidupku adalah sebuah draft yang tinggal disempurnakan, tanpa ruang untuk improvisasi.
Tapi benarkah begitu?
Di semester terakhir SMA, ketika teman-temanku sibuk mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi, aku justru merasa hampa. Pilihan jurusan yang diharapkan orangtua tidak pernah sesuai dengan apa yang ada di dalam hatiku. Setiap malam, aku terjaga. Pikiranku melayang pada mimpi-mimpi yang tak terucap, pada hasrat untuk menciptakan sesuatu yang berasal murni dari dalam diriku.
Suasana sore itu begitu teduh ketika aku berbicara dengan Kak Dian, kakak kelasku yang dulu pernah menjadi juara olimpiade. Dia sudah kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama. Cahaya senja membuat bayangan kami memanjang di koridor sekolah.
"Kak," ucapku ragu, "bagaimana kalau aku tidak ingin mengikuti jalur yang sudah direncanakan?"
Kak Dian tersenyum. "Setiap orang memiliki jalannya sendiri, Aria. Jangan pernah merasa rendah diri karena berbeda."
Kata-katanya bergema di benakku, seperti gemerincing lonceng yang membangunkanku dari mimpi palsu yang selama ini kuhidupi.
Akhirnya, aku memberanikan diri berbicara dengan orangtua. Malam itu, dengan gemetar, aku menjelaskan keinginanku untuk mengambil jalur yang berbeda. Bukan kuliah di jurusan kedokteran atau manajemen bisnis, melainkan mengikuti passion-ku di bidang seni dan desain. Setiap kata yang keluar terasa berat, seperti melepaskan ikatan yang selama ini membelenggu.
Awalnya, ayah tampak kecewa. Ibuku terdiam. Mereka tidak langsung memberikan respons. Kesunyian yang mendalam memenuhi ruang keluarga, seolah mempertanyakan keberanian yang baru saja kupamerkan.
Seminggu berlalu dengan suasana canggung. Orangtuaku masih belum sepenuhnya menerima keputusanku. Namun, aku mulai belajar untuk percaya pada diriku sendiri. Setiap hari, keyakinanku tumbuh perlahan, seperti tunas yang menembus tanah keras.
Aku mulai mengikuti beberapa kelas online desain grafis. Membuat portofolio sendiri. Berkenalan dengan komunitas seniman muda. Perlahan, aku menemukan identitasku. Setiap goresan pensil, setiap desain yang kubuat, adalah pernyataan tentang diriku yang sebenarnya.
Tidak mudah, tentu saja. Setiap kali melihat pencapaian teman-teman, rasa tidak percaya diri selalu mengintai. Namun, aku mulai memahami bahwa perjalanan hidupku tidak perlu dibandingkan dengan orang lain. Aku adalah sebuah karya yang sedang dalam proses, tidak perlu disamakan dengan karya lain.
Suatu hari, salah satu karyaku terpilih dalam pameran seni remaja tingkat kota. Ayahku, yang awalnya skeptis, mulai tersenyum melihat antusiasiku. Ibuku mulai bertanya lebih detail tentang karyaku. Dalam pancaran mata mereka, aku melihat secercah pengertian.
"Kamu tidak seperti kami," kata ayah suatu malam, "tapi kamu adalah dirimu sendiri."
Kalimat sederhana itu ternyata memiliki kekuatan luar biasa. Aku menyadari bahwa tidak ada yang salah dengan memilih jalan berbeda. Setiap langkah, setiap pilihan, adalah bagian dari perjalanan unikku.
Kepada para remaja yang merasa tertekan dengan ekspektasi, ingatlah: hidupmu adalah kanvas pribadimu. Kamu bebas melukis dengan warna dan goresan yang kamu pilih.
Jangan pernah berharap bahwa jalanmu akan sama dengan jalan orang lain. Perjalanan hidupmu adalah sesuatu yang istimewa, sebagaimana dirimu yang istimewa.
Akhirnya, aku tersenyum. Bukan pada foto-foto di dinding, melainkan pada bayanganku sendiri di cermin. Sesosok perempuan muda yang mulai menemukan dirinya, dengan tapak kaki sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H