Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Terakhir

28 November 2024   08:00 Diperbarui: 28 November 2024   08:27 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: katadata.co.id

 

"Assalamualaikum, Pak Hasari!"

Sapaan riang itu membuat Hasari tersentak dari lamunannya. Aroma sore yang pengap bercampur wangi chalk dust mengambang di ruang guru yang sepi. Di depan meja kerjanya yang sempit dan sedikit goyah, berdiri Dinda, salah satu murid kesayangannya dari kelas 9A. 

Senyum cerah gadis berkerudung pink itu seketika menular, membuat Hasari melupakan sejenak beban yang menghimpit dadanya. Ada sesuatu dari pancaran mata polos siswanya yang selalu berhasil menghangatkan hatinya yang lelah.

"Waalaikumsalam, Dinda. Tumben belum pulang?" Hasari melirik jam dinding yang menunjukkan pukul empat sore. Detak jarum jam terdengar lebih keras dalam kesunyian ruang guru yang sudah sepi, hanya tersisa dirinya dan tumpukan buku yang menunggu untuk dikoreksi. Suara tawa samar anak-anak yang bermain di lapangan terdengar sayup-sayup dari kejauhan.

"Ini Pak, saya mau kasih undangan," Dinda menyodorkan amplop putih dengan hiasan bunga di sudutnya, jemarinya yang langsing tampak bersemangat. "Minggu depan saya wisuda tahfidz. Bapak harus datang ya!"

Hasari menerima undangan itu dengan hati bergetar. Lima belas tahun mengajar sebagai guru honorer telah memberinya ribuan kisah tentang murid-murid yang tumbuh dan berhasil meraih mimpi mereka. 

Setiap prestasi mereka adalah obat bagi lelahnya, setiap keberhasilan mereka adalah balasan tak ternilai bagi pengabdiannya. Tapi entah mengapa, kali ini matanya terasa panas. Mungkin karena ia tahu, ini bisa jadi undangan terakhir yang ia terima sebagai seorang guru.

"Insya Allah, Bapak usahakan ya," jawabnya lembut, meski dalam hati tak yakin apakah ia masih bisa memenuhi janji itu. Suaranya sedikit bergetar menahan gejolak perasaan yang berkecamuk.

Setelah Dinda pamit pulang, meninggalkan jejak wangi parfum remaja yang lembut, Hasari membuka laci mejanya. Derit kayu tua terdengar memilukan. Di antara berkas-berkas kusam yang menguning dimakan waktu, ada sebuah amplop coklat yang sudah seminggu ini ia simpan. 

Surat pengunduran diri yang belum berani ia serahkan kepada kepala sekolah. Setiap kali tangannya hendak meraih amplop itu, bayangan wajah murid-muridnya seolah menghantui, membuat hatinya kembali goyah.

Gaji Rp 700.000 per bulan sudah lama tak cukup untuk menghidupi keluarganya. Nominal yang tak pernah berubah selama bertahun-tahun itu kini terasa semakin mencekik, seperti tali yang perlahan mengerat di lehernya. 

Apalagi sejak istrinya, penjaga toko kelontong, terpaksa berhenti bekerja karena stroke ringan tiga bulan lalu. Setiap malam, Hasari masih terbangun oleh mimpi buruk tentang tubuh istrinya yang tergeletak di lantai toko.

 Dedi, putra semata wayangnya yang kini kelas 3 SMA, butuh biaya untuk pendaftaran kuliah. Tabungan mereka sudah terkuras untuk biaya pengobatan, menyisakan kekosongan yang menganga seperti lubang hitam yang siap menelan asa.

"Pak Hasari, bisa tolong bantu saya mengawasi ulangan besok? Saya ada undangan pernikahan keponakan."

Suara Bu Evi, guru senior yang sudah PNS, membuyarkan lamunannya. Nada bicaranya yang setengah memerintah menggores telinga Hasari seperti kapur di papan tulis. Lagi-lagi ia harus menggantikan tugas rekan kerjanya. Tapi kali ini, sesuatu dalam dadanya memberontak. Hasari menggeleng pelan, jemarinya tanpa sadar meremas ujung kemeja lusuhnya.

"Maaf Bu Evi, besok saya ada keperluan," jawabnya mantap, untuk pertama kalinya berani menolak. Ada getaran aneh dalam suaranya, campuran antara takut dan lega.

Bu Evi terlihat kaget, tidak biasa dengan penolakan dari guru honorer yang selama ini selalu patuh. Alisnya terangkat tinggi, menciptakan kerutan dalam di dahinya yang sudah berkeriput. Tanpa berkata apa-apa, wanita paruh baya itu berlalu dengan wajah masam, suara high heels-nya mengetuk lantai dengan ritme kemarahan yang tertahan.

Hasari menghela nafas panjang, beban di pundaknya terasa semakin berat. Keputusannya sudah bulat, meski hatinya masih terbelah. Setelah lima belas tahun mengabdi dengan segenap jiwa, ia akhirnya menyerah pada realitas yang tak bisa ditawar. 

Tawaran menjadi manajer di toko buku milik sepupunya di kota terasa seperti jawaban atas doa-doanya yang panjang, meski bukan jawaban yang ia harapkan. Gaji yang ditawarkan tiga kali lipat dari honornya sekarang terasa seperti godaan yang terlalu manis untuk ditolak.

Saat membereskan barang-barangnya, sebuah kertas terlipat jatuh dari salah satu buku tugas. Kertas itu sudah kusut dan terlipat-lipat, tapi tulisan tangan yang tertera di atasnya masih jelas terbaca. Surat dari Herjoni, murid bandel yang sering membolos tapi diam-diam rajin menulis puisi. Anak yang selalu duduk di pojok kelas dengan tatapan menantang itu ternyata menyimpan kepekaan yang tak terduga.

"Pak Hasari yang baik,

Maaf saya sering bikin Bapak kesal. Tapi berkat Bapak, saya sekarang suka menulis. Kata Bapak waktu itu benar, menulis bisa jadi tempat curhat yang aman. Kemarin puisi saya menang lomba tingkat kabupaten. Ini semua berkat Bapak. Terima kasih ya, Pak."

Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya tumpah, mengalir deras seperti bendungan yang jebol. Hasari terisak dalam diam, bahunya terguncang menahan ledakan emosi yang tak terbendung. Lima belas tahun bukanlah waktu yang singkat untuk membangun jejak dalam hidup anak-anak. Begitu banyak siswa yang telah ia bimbing dengan segenap kesabaran, begitu banyak hati yang telah ia sentuh dengan ketulusan seorang pendidik sejati.

Tangan gemetar Hasari meraih amplop coklat di lacinya. Kertas itu terasa berat, seolah memuat seluruh beban hidupnya. Tepat saat ia akan memasukkan surat pengunduran diri itu ke dalam tas, ponselnya berdering nyaring memecah keheningan. Nomor tidak dikenal.

"Assalamualaikum, dengan Pak Hasari? Ini dari Kantor Cabang Dinas Pendidikan. Kami informasikan bahwa nama Bapak masuk dalam daftar guru honorer yang akan diangkat menjadi ASN. Mohon siapkan berkas-berkas yang diperlukan."

Hasari terduduk lemas, kakinya seperti kehilangan tulang. Air matanya kini bercampur dengan rasa syukur yang membuncah, mengalir tanpa henti seperti hujan yang telah lama ditunggu di musim kemarau. 

Di luar, langit senja tampak lebih cerah dari biasanya, semburat jingga keemasan menerobos masuk melalui jendela kaca yang berdebu. Dengan tangan bergetar, ia merobek amplop coklat itu menjadi serpihan kecil, membiarkan kepingan-kepingan kertas itu beterbangan seperti konfeti perayaan.

Malam itu, dalam perjalanan pulang dengan motor matiknya yang sudah uzur, Hasari tersenyum menembus angin malam yang menusuk tulang. Suara mesin motornya yang menderu tidak beraturan seperti bernyanyi merdu di telinganya. Ia teringat kata-kata mendiang ayahnya dulu, yang diucapkan dengan suara serak di pembaringan terakhirnya: "Ujian terberat selalu datang di penghujung kesabaran."

Sesampainya di rumah kontrakan sederhana mereka yang sempit namun hangat oleh cinta, Dedi menyambut dengan wajah sumringah. Mata remajanya yang biasanya lelah setelah seharian sekolah kini berbinar penuh semangat. "Pak, Ibu tadi bisa menggerakkan jari kakinya! Kata dokter terapi yang kemarin mulai membuahkan hasil."

Hasari memeluk putranya erat, membiarkan air mata bahagianya mengalir membasahi pundak anak semata wayangnya itu. Aroma shampo murah dari rambut Dedi tercium familiar dan menenangkan. Ia hampir saja menyerah di penghujung harapan, hampir saja meninggalkan panggilan jiwa yang telah lima belas tahun menemani hidupnya.

Di meja ruang tengah yang dipenuhi taplak bermotif bunga pemberian tetangga, undangan wisuda tahfidz Dinda tergeletak di samping resep obat istrinya. Hasari tersenyum, mengelus kedua kertas itu dengan penuh syukur. Besok, ia akan datang ke sekolah dengan semangat baru yang menyala-nyala. Ada tugas-tugas yang menunggu untuk dikoreksi, ada hati-hati yang menunggu untuk disentuh, dan ada mimpi-mimpi yang menunggu untuk diwujudkan.

Karena pada akhirnya, setiap perjuangan memiliki hadiahnya sendiri. Dan Hasari, guru honorer yang hampir menyerah itu, akhirnya menemukan jawabannya: bahwa keajaiban selalu datang kepada mereka yang cukup kuat untuk bertahan sedikit lebih lama, seperti fajar yang tak pernah gagal menyingsing setelah malam yang paling gelap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun