"Pak Hasari yang baik,
Maaf saya sering bikin Bapak kesal. Tapi berkat Bapak, saya sekarang suka menulis. Kata Bapak waktu itu benar, menulis bisa jadi tempat curhat yang aman. Kemarin puisi saya menang lomba tingkat kabupaten. Ini semua berkat Bapak. Terima kasih ya, Pak."
Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya tumpah, mengalir deras seperti bendungan yang jebol. Hasari terisak dalam diam, bahunya terguncang menahan ledakan emosi yang tak terbendung. Lima belas tahun bukanlah waktu yang singkat untuk membangun jejak dalam hidup anak-anak. Begitu banyak siswa yang telah ia bimbing dengan segenap kesabaran, begitu banyak hati yang telah ia sentuh dengan ketulusan seorang pendidik sejati.
Tangan gemetar Hasari meraih amplop coklat di lacinya. Kertas itu terasa berat, seolah memuat seluruh beban hidupnya. Tepat saat ia akan memasukkan surat pengunduran diri itu ke dalam tas, ponselnya berdering nyaring memecah keheningan. Nomor tidak dikenal.
"Assalamualaikum, dengan Pak Hasari? Ini dari Kantor Cabang Dinas Pendidikan. Kami informasikan bahwa nama Bapak masuk dalam daftar guru honorer yang akan diangkat menjadi ASN. Mohon siapkan berkas-berkas yang diperlukan."
Hasari terduduk lemas, kakinya seperti kehilangan tulang. Air matanya kini bercampur dengan rasa syukur yang membuncah, mengalir tanpa henti seperti hujan yang telah lama ditunggu di musim kemarau.Â
Di luar, langit senja tampak lebih cerah dari biasanya, semburat jingga keemasan menerobos masuk melalui jendela kaca yang berdebu. Dengan tangan bergetar, ia merobek amplop coklat itu menjadi serpihan kecil, membiarkan kepingan-kepingan kertas itu beterbangan seperti konfeti perayaan.
Malam itu, dalam perjalanan pulang dengan motor matiknya yang sudah uzur, Hasari tersenyum menembus angin malam yang menusuk tulang. Suara mesin motornya yang menderu tidak beraturan seperti bernyanyi merdu di telinganya. Ia teringat kata-kata mendiang ayahnya dulu, yang diucapkan dengan suara serak di pembaringan terakhirnya: "Ujian terberat selalu datang di penghujung kesabaran."
Sesampainya di rumah kontrakan sederhana mereka yang sempit namun hangat oleh cinta, Dedi menyambut dengan wajah sumringah. Mata remajanya yang biasanya lelah setelah seharian sekolah kini berbinar penuh semangat. "Pak, Ibu tadi bisa menggerakkan jari kakinya! Kata dokter terapi yang kemarin mulai membuahkan hasil."
Hasari memeluk putranya erat, membiarkan air mata bahagianya mengalir membasahi pundak anak semata wayangnya itu. Aroma shampo murah dari rambut Dedi tercium familiar dan menenangkan. Ia hampir saja menyerah di penghujung harapan, hampir saja meninggalkan panggilan jiwa yang telah lima belas tahun menemani hidupnya.
Di meja ruang tengah yang dipenuhi taplak bermotif bunga pemberian tetangga, undangan wisuda tahfidz Dinda tergeletak di samping resep obat istrinya. Hasari tersenyum, mengelus kedua kertas itu dengan penuh syukur. Besok, ia akan datang ke sekolah dengan semangat baru yang menyala-nyala. Ada tugas-tugas yang menunggu untuk dikoreksi, ada hati-hati yang menunggu untuk disentuh, dan ada mimpi-mimpi yang menunggu untuk diwujudkan.