Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Terakhir

28 November 2024   08:00 Diperbarui: 28 November 2024   08:27 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: katadata.co.id

Surat pengunduran diri yang belum berani ia serahkan kepada kepala sekolah. Setiap kali tangannya hendak meraih amplop itu, bayangan wajah murid-muridnya seolah menghantui, membuat hatinya kembali goyah.

Gaji Rp 700.000 per bulan sudah lama tak cukup untuk menghidupi keluarganya. Nominal yang tak pernah berubah selama bertahun-tahun itu kini terasa semakin mencekik, seperti tali yang perlahan mengerat di lehernya. 

Apalagi sejak istrinya, penjaga toko kelontong, terpaksa berhenti bekerja karena stroke ringan tiga bulan lalu. Setiap malam, Hasari masih terbangun oleh mimpi buruk tentang tubuh istrinya yang tergeletak di lantai toko.

 Dedi, putra semata wayangnya yang kini kelas 3 SMA, butuh biaya untuk pendaftaran kuliah. Tabungan mereka sudah terkuras untuk biaya pengobatan, menyisakan kekosongan yang menganga seperti lubang hitam yang siap menelan asa.

"Pak Hasari, bisa tolong bantu saya mengawasi ulangan besok? Saya ada undangan pernikahan keponakan."

Suara Bu Evi, guru senior yang sudah PNS, membuyarkan lamunannya. Nada bicaranya yang setengah memerintah menggores telinga Hasari seperti kapur di papan tulis. Lagi-lagi ia harus menggantikan tugas rekan kerjanya. Tapi kali ini, sesuatu dalam dadanya memberontak. Hasari menggeleng pelan, jemarinya tanpa sadar meremas ujung kemeja lusuhnya.

"Maaf Bu Evi, besok saya ada keperluan," jawabnya mantap, untuk pertama kalinya berani menolak. Ada getaran aneh dalam suaranya, campuran antara takut dan lega.

Bu Evi terlihat kaget, tidak biasa dengan penolakan dari guru honorer yang selama ini selalu patuh. Alisnya terangkat tinggi, menciptakan kerutan dalam di dahinya yang sudah berkeriput. Tanpa berkata apa-apa, wanita paruh baya itu berlalu dengan wajah masam, suara high heels-nya mengetuk lantai dengan ritme kemarahan yang tertahan.

Hasari menghela nafas panjang, beban di pundaknya terasa semakin berat. Keputusannya sudah bulat, meski hatinya masih terbelah. Setelah lima belas tahun mengabdi dengan segenap jiwa, ia akhirnya menyerah pada realitas yang tak bisa ditawar. 

Tawaran menjadi manajer di toko buku milik sepupunya di kota terasa seperti jawaban atas doa-doanya yang panjang, meski bukan jawaban yang ia harapkan. Gaji yang ditawarkan tiga kali lipat dari honornya sekarang terasa seperti godaan yang terlalu manis untuk ditolak.

Saat membereskan barang-barangnya, sebuah kertas terlipat jatuh dari salah satu buku tugas. Kertas itu sudah kusut dan terlipat-lipat, tapi tulisan tangan yang tertera di atasnya masih jelas terbaca. Surat dari Herjoni, murid bandel yang sering membolos tapi diam-diam rajin menulis puisi. Anak yang selalu duduk di pojok kelas dengan tatapan menantang itu ternyata menyimpan kepekaan yang tak terduga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun