Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memori Manis di Perpustakaan Kecil

27 November 2024   11:40 Diperbarui: 27 November 2024   13:28 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ibu bangga sekali dengan kalian," ucapnya lembut. "Dulu ibu khawatir kalian akan terlalu asyik dengan gadget, tapi sekarang..."

"Sekarang kita lebih suka baca buku!" sahut Mulyono riang, tangannya menggenggam erat tangan ibunya yang mulai kurus.

"Iya, Bu. Ternyata membaca itu menyenangkan. Apalagi kalau bareng-bareng seperti ini," tambah Darwin, matanya berkaca-kaca.

Purwandi yang sudah mulai memahami kondisi ibunya mendekat dan berbisik, "Bu, kami janji akan terus membaca dan belajar. Ibu jangan khawatir."

"Betul," Dedi yang biasanya irit bicara ikut menimpali. "Waktu kita bersama di perpustakaan itu akan jadi kenangan yang tidak akan pernah kami lupakan."

Ibu Sumiati memeluk keempat putranya dengan sisa-sisa tenaganya. Air mata mengalir di pipinya yang tirus. Ia teringat bagaimana dulu sempat ragu untuk memulai proyek perpustakaan mini ini. Tapi kini, melihat bagaimana buku-buku telah mengubah keluarganya, ia merasa semua usahanya terbayar lunas.

"Anak-anakku," ucapnya pelan, "berjanjilah pada ibu. Apapun yang terjadi nanti, perpustakaan kecil itu harus tetap hidup. Karena di setiap bukunya, ada cinta ibu untuk kalian."

Perpustakaan kecil itu bukan sekadar rak berisi buku. Ia adalah saksi bisu bagaimana sebuah keluarga tumbuh bersama, bagaimana cinta pada ilmu pengetahuan disemai, dan bagaimana ikatan antara ibu dan anak-anaknya menguat melalui halaman demi halaman yang mereka baca bersama. Dan kini, ia juga menjadi saksi bagaimana seorang ibu berusaha meninggalkan warisan tak ternilai untuk anak-anaknya - warisan berupa cinta pada ilmu dan kenangan indah yang akan abadi selamanya.

Tiga tahun kemudian, di perpustakaan yang kini telah berkembang menjadi dua kali lipat besarnya, Purwandi yang telah menjadi mahasiswa astronomi membacakan sebuah buku untuk adik-adiknya. Di dinding, foto Ibu Sumiati tersenyum hangat, seolah masih menemani anak-anaknya membaca seperti dulu. Meski ibunya telah tiada, namun warisan cintanya pada literasi terus hidup dan berkembang dalam diri keempat putranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun