Dengan tangan gemetar, Pak Niko membuka amplop itu. Kertas di dalamnya masih rapi, seolah waktu tak menyentuhnya. Aroma kertas lama bercampur dengan wangi tinta yang mulai memudar, namun kata-kata di dalamnya masih mampu menusuk tepat ke jantung hatinya.
"Pak Niko yang saya sayangi,
Mungkin ketika Bapak membaca surat ini, saya sudah tidak ada. Dokter memvonis saya mengidap kanker stadium akhir. Saya menulis surat ini dari rumah sakit, dengan harapan bisa menyampaikan terima kasih terakhir pada Bapak.
Setiap malam di rumah sakit ini, saya teringat wajah Bapak yang selalu sabar mengajari saya. Teringat bagaimana Bapak percaya pada kemampuan saya ketika bahkan saya sendiri ragu. Impian saya menjadi guru sepertinya tidak bisa terwujud. Tapi saya ingin Bapak tahu bahwa ajaran Bapak telah saya teruskan pada anak saya, Toni.
Dia baru berusia 5 tahun, tapi setiap malam sebelum tidur, saya selalu menceritakan tentang Bapak padanya. Tentang guru yang mengubah hidup ayahnya. Tentang bagaimana sebuah kebaikan bisa mengubah masa depan seseorang. Mungkin Toni masih terlalu kecil untuk memahami, tapi saya yakin suatu hari nanti dia akan mengerti.
Kalau Bapak tidak keberatan, saya ingin Bapak hadir di pemakaman saya. Bu Sri akan menghubungi sekolah ketika waktunya tiba. Saya ingin Toni tahu bahwa ayahnya memiliki guru yang luar biasa.
Terima kasih, Pak. Untuk segalanya. Untuk percaya pada anak miskin yang duduk di bangku depan itu. Untuk membuka matanya pada keajaiban ilmu pengetahuan. Untuk mengajarinya bahwa kemiskinan bukanlah akhir dari segalanya.
Hormat saya,
Marjono"
Air mata Pak Niko menetes ke atas kertas, menciptakan bercak-bercak kecil yang mengaburkan tinta. Dadanya terasa sesak. Surat itu terselip dan tak pernah dia baca. Dia bahkan tidak tahu Marjono telah pergi. Rasa bersalah menghantam dadanya seperti ombak yang menerjang karang. Dengan tangan bergetar, dia mencari nomor telepon Bu Sri di buku lamanya.
"Halo, Bu Sri?" suaranya bergetar menahan tangis. Kesunyian ruang guru tiba-tiba terasa mencekik.