Â
Pagi itu, embun masih menggantung di dedaunan ketika Pak Dimas melangkahkan kakinya memasuki gerbang SMA Nasional. Sepatu pantofelnya yang mengkilap berketuk pelan di atas paving block, sementara angin semilir memainkan ujung dasinya yang berwarna biru tua. Di usianya yang baru menginjak 35 tahun, dia adalah guru matematika termuda di sekolah ini.
Lorong-lorong sekolah masih sepi. Hanya ada beberapa siswa yang datang lebih awal, membungkuk hormat sambil mengucapkan "Selamat pagi, Pak!" dengan senyum tulus. Pak Dimas membalas dengan senyuman hangat yang menjadi ciri khasnya -- senyum yang membuat matanya menyipit dan menampilkan lesung pipi dalamnya.
"Selamat pagi, anak-anak," balasnya ramah. Dalam hati, dia masih sering takjub bagaimana kini dia bisa berdiri di sisi ini -- sisi seorang pendidik yang dihormati.
Di ruang guru, dia meletakkan tas kerjanya dan mengeluarkan setumpuk kertas ulangan yang sudah dikoreksinya semalaman. Setiap lembar telah dia bubuhi tidak hanya dengan nilai, tetapi juga catatan-catatan motivasi personal untuk setiap siswanya. "Kamu sudah lebih baik dari minggu lalu, pertahankan!", "Jangan menyerah, datanglah ke ruanganku jika butuh bantuan", dan berbagai kata-kata penyemangat lainnya.
Bel berbunyi tepat pukul 7 pagi. Pak Dimas mengambil buku-bukunya dan berjalan menuju kelas XI 2. Sepanjang koridor, dia menyempatkan diri menyapa setiap siswa yang berpapasan dengannya. Ada Andi yang kemarin masih kesulitan dengan integral, ada Sari yang akhirnya berhasil memahami limit setelah tiga kali les tambahan, dan ada pula Rafi yang dulu selalu tidur di kelas tapi kini mulai menunjukkan kemajuan.
Ketika Pak Dimas memasuki kelas, suasana yang tadinya riuh langsung berubah tertib. Bukan karena takut, tetapi karena rasa hormat. Para siswa telah mengenal baik sosok guru yang selalu datang dengan semangat dan metode mengajar yang membuat matematika terasa lebih mudah dicerna.
"Selamat pagi, anak-anak!" sapanya ceria.
"Selamat pagi, Pak!" jawab mereka serempak.
"Baik, sebelum kita mulai, saya ingin membagikan hasil ulangan minggu lalu. Tapi ingat, nilai ini hanya angka. Yang lebih penting adalah prosesnya dan kemauan kalian untuk terus belajar."
Satu per satu nama dipanggil. Setiap siswa maju ke depan, dan Pak Dimas tidak hanya menyerahkan kertas ulangan, tetapi juga membisikkan kata-kata motivasi personal untuk masing-masing. Untuk Deni yang nilainya masih di bawah KKM, dia berbisik, "Temui saya sepulang sekolah, kita bahas soal-soal yang masih kamu bingung." Deni mengangguk dengan mata berbinar -- jauh berbeda dari tatapan takut yang biasa ditunjukkan siswa saat mendapat nilai rendah.