Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Guru "Siluman"

19 November 2024   12:54 Diperbarui: 19 November 2024   14:02 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: kumparan.com

Anin berdiri, tangannya gemetar menahan emosi. Ia bisa merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. "Maaf, Pak. Tapi saya tidak bisa diam saja. Saya akan melaporkan ini ke..."

"Ke siapa?" potong Pak Taufik, tersenyum sinis. Matanya berkilat berbahaya. "Kamu pikir siapa yang akan mendengarkanmu? Sistem ini lebih besar dari yang kamu bayangkan. Satu laporan kecil tidak akan mengubah apa pun."

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Anin. Bukan karena takut, tapi karena amarah dan rasa frustrasi yang membuncah. Ia teringat pada mimpi-mimpinya saat pertama kali memutuskan bekerja di sekolah - tentang pendidikan yang adil, tentang sistem yang bersih.

"Saya mungkin tidak bisa mengubah sistem," Anin berkata pelan, suaranya bergetar namun penuh tekad, "tapi setidaknya saya tidak akan menjadi bagian dari kecurangan ini."

Dengan tangan gemetar namun langkah yang mantap, Anin mengambil tasnya dan berjalan keluar ruangan. Setiap langkahnya terasa berat namun membebaskan. Di belakangnya, ia bisa mendengar Pak Taufik berkata kepada Wandi dengan nada mengancam, "Tolong 'rapikan' data yang ada. Pastikan semuanya terlihat... wajar."

Langit sore yang kemerahan menyambut Anin di luar gedung sekolah, seperti api yang membakar idealisme yang tersisa. Angin sepoi-sepoi membelai wajahnya yang basah oleh air mata. Ia tahu keputusannya hari ini mungkin akan membawa konsekuensi berat bagi karirnya. Mungkin besok ia akan kehilangan pekerjaannya, mungkin namanya akan masuk daftar hitam. Tapi setidaknya, ia masih bisa berjalan tegak dengan hati yang bersih.

Di ruang TU yang kini sunyi, Neti memandangi kursi kosong Anin dengan perasaan campur aduk. Rasa kagum bercampur malu berkecamuk dalam dadanya. Ia mengagumi keberanian juniornya itu, sekaligus merasa malu pada dirinya sendiri yang telah lama membiarkan sistem curang ini berjalan. Berapa lama lagi ia akan terus berpura-pura tidak melihat?

Wandi mulai mengetik di komputernya, memasukkan data-data palsu dengan tangan gemetar. Setiap ketukan keyboard terasa seperti paku yang menancap di hati nuraninya. Pak Taufik mengawasi dari belakang, bayangannya yang besar menaungi ruangan seperti awan gelap. Detak jarum jam seolah mengejek, mengingatkan bahwa kadang, untuk mencapai tujuan yang tampak indah, ada proses-proses gelap yang harus dilewati - atau dilawan.

Sementara matahari tenggelam di ufuk barat, Anin melangkah pulang dengan kepala tegak. Mungkin ia telah kehilangan pekerjaannya, tapi ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga - keberanian untuk berdiri di sisi kebenaran, meski harus berdiri sendirian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun