"Sudah siap, Pak," jawab Wandi cepat, jemarinya yang gemetar membuka file di komputernya. Anin bisa melihat bulir keringat mengalir di pelipis seniornya itu.
Sesuatu dalam diri Anin bergejolak. Ia teringat pada prinsip-prinsip yang selama ini dipegangnya, nilai-nilai kejujuran yang ditanamkan orangtuanya sejak kecil. Dengan mengumpulkan segenap keberanian, ia memberanikan diri berbicara, "Pak, maaf... tapi saya menemukan kejanggalan dalam data guru PPPK yang baru."
Pak Taufik menatap Anin tajam. Matanya yang dingin menusuk seperti pisau es. "Kejanggalan apa?"
"Ada beberapa nama yang tidak pernah mengajar di sekolah mana pun, tapi tercatat sebagai guru aktif dan lolos seleksi PPPK," Anin menjawab dengan suara bergetar namun tegas. Jantungnya berdegup kencang, tapi ia tak bisa mundur sekarang.
Ruangan mendadak sunyi. Hanya detak jam dinding yang terdengar, seolah menghitung detik-detik ketegangan yang mencekam. Neti dan Wandi saling melirik gugup, wajah mereka pucat pasi.
"Anin," Pak Taufik berkata dengan nada rendah yang mengancam, "ada hal-hal yang lebih baik tidak kamu ketahui. Fokus saja pada pekerjaanmu." Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat bulu kuduk Anin meremang.
"Tapi Pak, ini menyangkut masa depan guru-guru yang sudah mengabdi dengan tulus. Mereka berjuang mengikuti seleksi dengan jujur," Anin tetap berkeras, meski ia bisa merasakan kakinya gemetar di bawah meja.
Pak Taufik tertawa kecil, tawa yang tidak mencapai matanya. "Kamu masih idealis sekali ya? Dunia pendidikan tidak sesederhana yang kamu bayangkan. Kadang kita perlu... menyesuaikan dengan sistem yang ada." Kata-katanya yang halus menyembunyikan ancaman terselubung.
"Maksud Bapak, membiarkan kecurangan ini terjadi?" tanya Anin tidak percaya. Dadanya terasa panas oleh amarah yang tertahan.
"Anin!" Neti memperingatkan, matanya membelalak ketakutan.
"Dengar," Pak Taufik mendekat ke meja Anin, aroma parfumnya semakin menyengat, "setiap orang punya kepentingan. Dinas punya target, sekolah butuh guru, dan... yah, ada banyak pihak yang perlu 'dibantu'. Ini sudah biasa." Senyumnya licin seperti belut.