Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memeluk Logika

18 November 2024   17:02 Diperbarui: 18 November 2024   17:03 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Canva 

Jam dinding di ruang Bimbingan Konseling berdetak lambat, seolah mengejek kegelisahan Pak Heru yang duduk terpekur di balik mejanya. Berkas-berkas yang berserakan di hadapannya terasa seperti pecahan puzzle yang sulit disatukan. Sinar matahari sore yang menerobos lewat celah tirai jendela menciptakan bayangan panjang di lantai, mengingatkannya pada bagaimana waktu terus bergerak tanpa ampun. Tiga puluh menit lagi, orangtua Gara akan datang.

Pandangannya menerawang ke luar jendela, ke arah lapangan sekolah yang mulai sepi. Beberapa siswa masih terlihat bermain basket, tawa mereka sayup-sayup terdengar hingga ruangannya. Dulu, pikirnya, mendidik terasa lebih sederhana. Guru dan murid punya batas yang jelas, orangtua percaya sepenuhnya pada proses pendidikan. Kini, di era media sosial dan hukum yang seolah siap menjerat setiap langkah guru, bahkan niat baik pun bisa berujung petaka.

"Pak, saya tidak terima anak saya diperlakukan seperti itu!" Suara bentakan Pak Herman, ayah Gara, masih terngiang di telinganya. Surat pengaduan resmi di tangannya kini menjadi bukti betapa rentan posisinya sebagai seorang guru BK. Tangannya sedikit bergetar saat membaca ulang kalimat-kalimat tuduhan di surat itu.

Kejadian seminggu lalu berputar kembali dalam ingatannya seperti film yang diulang. Gara, siswa kelas 2 SMA yang selama ini dikenal pendiam, tertangkap basah membully adik kelasnya di toilet sekolah. Bukan sekadar godaan main-main, tapi intimidasi sistematis yang membuat sang adik kelas trauma datang ke sekolah. Sebagai guru BK, Pak Heru melakukan apa yang seharusnya - memanggil Gara untuk konseling dan memberikan sanksi edukatif berupa tugas membuat karangan reflektif tentang dampak bullying.

"Anak saya bukan penjahat! Tidak perlu dipanggil-panggil ke BK segala!" Pak Heru masih ingat bagaimana wajah Pak Herman memerah menahan amarah saat mendatangi sekolah keesokan harinya. "Kalau sampai nilai anak saya turun gara-gara tekanan psikologis ini, saya tidak akan tinggal diam!"

Pak Heru mengusap wajahnya yang lelah, kerutan di keningnya semakin dalam. Dua puluh lima tahun mengabdi sebagai guru, ratusan kasus siswa telah ia tangani. Dari pencurian kecil hingga perkelahian serius, dari masalah cinta monyet hingga kenakalan remaja yang nyaris kriminal. Tapi baru kali ini ia merasa begitu vulnerable, begitu tidak berdaya.

Pikirannya melayang pada sosok Gara. Di balik sikap memberontaknya, Pak Heru bisa melihat ada luka yang belum sembuh. Perceraian orangtuanya tahun lalu, tekanan untuk selalu berprestasi, dan kesepian yang coba ia tutupi dengan tindakan agresif. Sebagai guru BK, Pak Heru ingin menolong - tapi bagaimana caranya jika setiap langkah bisa berujung ancaman hukum?

Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Bu Evi, rekan sesama guru BK yang sudah 30 tahun mengajar, masuk dengan membawa dua cangkir teh hangat. Uap tipis mengepul dari cangkir, membawa aroma melati yang menenangkan. Di balik kacamatanya yang tebal, mata Bu Evi memancarkan kehangatan seorang ibu.

"Minum dulu, Pak," ujarnya lembut sembari meletakkan secangkir teh di meja Pak Heru. "Saya lihat dari tadi Bapak terus membolak-balik berkas itu. Pasti pikiran Bapak sedang kalut."

Pak Heru tersenyum tipis, meraih cangkir tehnya. "Terima kasih, Bu. Saya hanya... kadang saya bertanya-tanya, apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Bagaimana kita bisa mendidik generasi yang tangguh jika setiap upaya pendisiplinan dianggap sebagai kekerasan?"

Bu Evi menarik kursi, duduk di hadapan Pak Heru. "Zaman sudah berubah, Pak. Dulu, kalau ada anak nakal, cukup dipanggil orangtuanya, masalah selesai. Sekarang? Media sosial membuat segalanya bisa viral dalam hitungan detik. Satu langkah salah, reputasi seumur hidup bisa hancur."

"Tapi justru karena itu, Bu," Pak Heru menegakkan duduknya, "bukankah kita malah harus lebih tegas? Lihat kasus Gara ini - dia membully adik kelasnya karena merasa tidak ada yang berani menegurnya. Orangtuanya terlalu protektif, sekolah terlalu takut bermasalah. Akhirnya siapa yang rugi? Anaknya sendiri."

Bu Evi mengangguk pelan. "Saya setuju. Tapi mungkin cara kita yang perlu disesuaikan. Zaman sekarang, segala sesuatu harus terdokumentasi dengan baik. Setiap tindakan harus ada SOP-nya, setiap keputusan harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum."

Percakapan mereka terhenti oleh ketukan di pintu. Pak Herman dan istrinya telah tiba, ditemani Kepala Sekolah. Pak Heru bisa merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, tapi ia memaksakan diri untuk tetap tenang. Di tangannya sudah siap semua dokumen - catatan kejadian, prosedur penanganan yang telah dilakukan, hingga rekaman CCTV yang menunjukkan tindakan bullying Gara.

"Silakan masuk," ujarnya dengan nada profesional yang telah dilatihnya selama bertahun-tahun.

Pertemuan itu berlangsung alot pada awalnya. Pak Herman masih dengan nada tingginya, sementara istrinya sesekali terisak. Barisan bukti yang menyanyi lantang tentang kebenaran, diiringi penjelasan Pak Heru yang memeluk logika, dan prosedur yang dibawa Kepala Sekolah bagai lentera penerang, akhirnya mampu melunakkan keras hati yang membatu.

"Kami di sini bukan untuk menghukum Gara," Pak Heru menjelaskan dengan nada kebapakan yang tulus. "Justru kami ingin membantunya menjadi pribadi yang lebih baik. Bullying bukan hal sepele - ini bisa merusak masa depan, baik korban maupun pelakunya. Sebagai pendidik, tugas kami bukan hanya mengajarkan mata pelajaran, tapi juga membentuk karakter."

Air mata Bu Herman akhirnya tumpah. "Maafkan kami, Pak," ujarnya tersendat. "Kami... kami hanya tidak ingin Gara mengalami hal buruk. Sejak perceraian kami tahun lalu, dia jadi lebih sensitif..."

"Justru itu yang ingin kami bantu," sambung Pak Heru lembut. "Gara butuh bimbingan, butuh tempat yang aman untuk mengekspresikan perasaannya. Dan kami ingin bekerja sama dengan Bapak dan Ibu untuk membantunya melewati masa sulit ini."

Di akhir pertemuan, Pak Herman bahkan menjabat tangan Pak Heru dengan erat. "Saya minta maaf atas sikap saya kemarin, Pak. Saya terbawa emosi... tapi sekarang saya paham, Bapak melakukan ini demi kebaikan Gara juga."

Setelah semua pulang, senja telah turun sepenuhnya. Pak Heru masih duduk di kursinya, memandang langit yang mulai berbintang dari jendela ruang BK. Segelas teh yang dibawakan Bu Evi telah dingin, tak tersentuh. Tapi hatinya terasa hangat.

Bu Evi benar - meski tantangan semakin berat, selama ada dokumentasi yang baik dan prosedur yang jelas, guru masih bisa menjalankan tugasnya dengan optimal. Bahkan mungkin, justru karena tantangan inilah sistem pendidikan kita bisa menjadi lebih baik.

Ia membuka laptop dan mulai mengetik: "Usulan Penyempurnaan SOP Penanganan Kasus Siswa". Di layar yang menyala dalam ruangan yang mulai gelap, jari-jarinya menari di atas keyboard, menuangkan pengalaman dan pemikiran yang telah lama ia pendam.

"Setiap anak adalah individu unik yang sedang bertumbuh. Tugas kita sebagai pendidik bukan hanya mentransfer ilmu, tapi juga membimbing mereka menemukan jati diri. Karena itu, sistem perlindungan guru harus diperkuat - bukan untuk memberi kekuasaan lebih, tapi untuk memastikan proses pendidikan bisa berjalan sebagaimana mestinya..."

Malam beranjak dingin ketika Pak Heru akhirnya membereskan mejanya. Di luar, kunang-kunang menari di taman sekolah, menciptakan titik-titik cahaya yang mengingatkannya pada harapan. Ya, selama masih ada guru yang peduli, selama masih ada sistem yang terus diperbaiki, pendidikan Indonesia masih punya masa depan yang cerah.

Mengunci pintu ruang BK, Pak Heru tersenyum. Hari ini telah mengajarkannya satu hal: di balik setiap tantangan, selalu ada kesempatan untuk membuat dunia pendidikan menjadi lebih baik. Dan besok, seperti biasa, ia akan kembali ke ruangan ini - siap mendengarkan, membimbing, dan mendidik dengan sepenuh hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun