Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Jangan Menua Sebelum Kaya, Menakar Urgensi dan Dampaknya terhadap Bonus Demografi Indonesia

2 Juli 2024   00:01 Diperbarui: 2 Juli 2024   11:23 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mengejar kekayaan adalah baik, tapi memperkaya diri dengan pengetahuan dan keterampilan adalah lebih baik."

Indonesia saat ini berada di ambang periode bonus demografi, sebuah fase di mana jumlah penduduk usia produktif lebih besar daripada penduduk usia non-produktif. Situasi ini seharusnya menjadi peluang emas bagi kemajuan ekonomi negara. 

Namun, di tengah optimisme tersebut, muncul sebuah pesan yang kian populer di kalangan anak muda: "jangan menua sebelum kaya". Slogan ini mencerminkan kecemasan generasi muda akan masa depan finansial mereka, sekaligus menggambarkan realitas sosial-ekonomi yang kompleks di Indonesia.

Ketika kita menilik lebih dalam profil keluarga di Indonesia, kita akan menemukan beragam tantangan yang dihadapi oleh generasi muda. Banyak dari mereka yang terjebak dalam siklus kemiskinan, berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar, apalagi mencapai kekayaan. 

Di sisi lain, sebagian anak muda dari keluarga menengah ke atas merasa tertekan untuk minimal mempertahankan, jika tidak meningkatkan, standar hidup orang tua mereka. Kedua kelompok ini sama-sama merasakan urgensi untuk menjadi "kaya" sebelum usia mereka bertambah.

Namun, apakah pesan "jangan menua sebelum kaya" ini sejalan dengan harapan akan bonus demografi? Atau justru bertentangan?

Bonus demografi seharusnya membawa angin segar bagi perekonomian. Dengan melimpahnya tenaga kerja produktif, diharapkan produktivitas nasional akan meningkat, investasi akan bertumbuh, dan kesejahteraan masyarakat akan membaik. Tetapi realitasnya tidak sesederhana itu. Tanpa persiapan yang matang, bonus demografi bisa berubah menjadi bencana demografi.

Salah satu kunci untuk mengoptimalkan bonus demografi adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia. Ini berarti investasi besar-besaran dalam pendidikan, pelatihan keterampilan, dan penciptaan lapangan kerja yang layak. 

Namun, ketika fokus generasi muda teralihkan pada upaya cepat untuk menjadi kaya, ada risiko bahwa mereka akan mengabaikan pengembangan diri jangka panjang demi keuntungan finansial jangka pendek.

Di satu sisi, semangat untuk mencapai kesuksesan finansial di usia muda bisa menjadi pendorong inovasi dan kewirausahaan. Banyak startup dan bisnis baru yang lahir dari tekad anak muda untuk "menjadi kaya". Ini sejalan dengan harapan bonus demografi, di mana kreativitas dan produktivitas generasi muda bisa menjadi motor penggerak ekonomi.

Namun di sisi lain, obsesi terhadap kekayaan bisa menimbulkan efek negatif. Ketika ukuran kesuksesan hanya didasarkan pada materi, ada risiko timbulnya praktik-praktik tidak etis atau bahkan ilegal demi mencapai kekayaan. 

Selain itu, tekanan untuk cepat kaya bisa menyebabkan stres dan masalah kesehatan mental, yang justru kontraproduktif terhadap produktivitas yang diharapkan dari bonus demografi.

Lebih jauh lagi, fokus yang berlebihan pada pencapaian individu bisa mengikis semangat gotong royong dan kebersamaan yang menjadi salah satu kekuatan sosial Indonesia. Padahal, untuk benar-benar memanfaatkan bonus demografi, dibutuhkan kerja sama dan solidaritas antar generasi.

Lalu, bagaimana kita bisa menyeimbangkan antara aspirasi untuk mencapai kesuksesan finansial dengan kebutuhan akan pembangunan sumber daya manusia yang berkelanjutan?

Pertama, perlu ada perubahan paradigma tentang definisi "kaya" itu sendiri. Kekayaan seharusnya tidak hanya diukur dari materi, tetapi juga dari kualitas hidup, kontribusi sosial, dan pemenuhan diri. Dengan pemahaman ini, "jangan menua sebelum kaya" bisa diartikan sebagai dorongan untuk terus mengembangkan diri, bukan hanya mengejar uang.

Kedua, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan ekosistem yang mendukung perkembangan generasi muda secara holistik. Ini termasuk perbaikan sistem pendidikan, peningkatan akses terhadap pelatihan keterampilan, dan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas. Dengan demikian, upaya untuk "menjadi kaya" bisa sejalan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Ketiga, perlu ada edukasi finansial yang lebih baik. Generasi muda perlu memahami bahwa kekayaan bukan hasil instan, melainkan proses jangka panjang yang melibatkan perencanaan, investasi, dan pengelolaan risiko yang bijak. Pemahaman ini akan membantu mereka menghindari jebakan get-rich-quick schemes dan fokus pada pembangunan fondasi finansial yang solid.

Keempat, perlu ada penekanan pada nilai-nilai seperti inovasi, kreativitas, dan kewirausahaan sosial. Dengan mendorong generasi muda untuk tidak hanya mencari keuntungan pribadi, tetapi juga memberikan solusi bagi masalah-masalah sosial, kita bisa menyelaraskan aspirasi individual dengan kebutuhan kolektif masyarakat.

Kelima, penting untuk mempromosikan keseimbangan hidup. Kesuksesan finansial memang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan kesehatan, hubungan sosial, dan pengembangan diri. 

Generasi muda perlu didorong untuk mengejar "kekayaan" dalam arti yang lebih luas -- kaya pengalaman, kaya pengetahuan, dan kaya dalam hubungan sosial.

Pada akhirnya, pesan "jangan menua sebelum kaya" bisa menjadi pisau bermata dua dalam konteks bonus demografi Indonesia. Jika diinterpretasikan secara sempit sebagai dorongan untuk mengejar kekayaan material dengan cara apapun, pesan ini bisa menjadi kontraproduktif. 

Namun jika dimaknai sebagai motivasi untuk terus berkembang, berinovasi, dan berkontribusi pada masyarakat, maka pesan ini bisa menjadi katalis positif bagi pembangunan Indonesia.

Bonus demografi adalah peluang berharga yang tidak boleh disia-siakan. Namun, untuk benar-benar memanfaatkannya, kita perlu lebih dari sekadar jumlah penduduk usia produktif yang besar. Kita membutuhkan generasi muda yang tidak hanya termotivasi untuk sukses secara finansial, tetapi juga memiliki visi jangka panjang untuk membangun diri dan negara.

Menjadi "kaya" sebelum menua memang penting, tetapi definisi kekayaan itu sendiri perlu diperluas. Kekayaan sejati terletak pada kemampuan untuk berkontribusi positif pada masyarakat, memiliki keterampilan yang relevan, dan hidup dengan penuh makna. 

Jika generasi muda Indonesia bisa menginternalisasi pemahaman ini, maka bonus demografi bukan hanya akan menjadi statistik demografis, tetapi benar-benar menjadi momentum transformatif bagi bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun