Namun di sisi lain, obsesi terhadap kekayaan bisa menimbulkan efek negatif. Ketika ukuran kesuksesan hanya didasarkan pada materi, ada risiko timbulnya praktik-praktik tidak etis atau bahkan ilegal demi mencapai kekayaan.Â
Selain itu, tekanan untuk cepat kaya bisa menyebabkan stres dan masalah kesehatan mental, yang justru kontraproduktif terhadap produktivitas yang diharapkan dari bonus demografi.
Lebih jauh lagi, fokus yang berlebihan pada pencapaian individu bisa mengikis semangat gotong royong dan kebersamaan yang menjadi salah satu kekuatan sosial Indonesia. Padahal, untuk benar-benar memanfaatkan bonus demografi, dibutuhkan kerja sama dan solidaritas antar generasi.
Lalu, bagaimana kita bisa menyeimbangkan antara aspirasi untuk mencapai kesuksesan finansial dengan kebutuhan akan pembangunan sumber daya manusia yang berkelanjutan?
Pertama, perlu ada perubahan paradigma tentang definisi "kaya" itu sendiri. Kekayaan seharusnya tidak hanya diukur dari materi, tetapi juga dari kualitas hidup, kontribusi sosial, dan pemenuhan diri. Dengan pemahaman ini, "jangan menua sebelum kaya" bisa diartikan sebagai dorongan untuk terus mengembangkan diri, bukan hanya mengejar uang.
Kedua, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan ekosistem yang mendukung perkembangan generasi muda secara holistik. Ini termasuk perbaikan sistem pendidikan, peningkatan akses terhadap pelatihan keterampilan, dan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas. Dengan demikian, upaya untuk "menjadi kaya" bisa sejalan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Ketiga, perlu ada edukasi finansial yang lebih baik. Generasi muda perlu memahami bahwa kekayaan bukan hasil instan, melainkan proses jangka panjang yang melibatkan perencanaan, investasi, dan pengelolaan risiko yang bijak. Pemahaman ini akan membantu mereka menghindari jebakan get-rich-quick schemes dan fokus pada pembangunan fondasi finansial yang solid.
Keempat, perlu ada penekanan pada nilai-nilai seperti inovasi, kreativitas, dan kewirausahaan sosial. Dengan mendorong generasi muda untuk tidak hanya mencari keuntungan pribadi, tetapi juga memberikan solusi bagi masalah-masalah sosial, kita bisa menyelaraskan aspirasi individual dengan kebutuhan kolektif masyarakat.
Kelima, penting untuk mempromosikan keseimbangan hidup. Kesuksesan finansial memang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan kesehatan, hubungan sosial, dan pengembangan diri.Â
Generasi muda perlu didorong untuk mengejar "kekayaan" dalam arti yang lebih luas -- kaya pengalaman, kaya pengetahuan, dan kaya dalam hubungan sosial.
Pada akhirnya, pesan "jangan menua sebelum kaya" bisa menjadi pisau bermata dua dalam konteks bonus demografi Indonesia. Jika diinterpretasikan secara sempit sebagai dorongan untuk mengejar kekayaan material dengan cara apapun, pesan ini bisa menjadi kontraproduktif.Â