Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Menyoal Kinerja dan Gaji, Jalan Lain Menuju Kehidupan Bermakna

28 Mei 2024   10:40 Diperbarui: 28 Mei 2024   11:58 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen training-bagus.com

"Bersyukurlah atas apa yang kita miliki, karena kebahagiaan sejati seringkali tersembunyi dalam hal-hal sederhana yang kita abaikan."

Di era modern yang serba materialistis, gaji dan upah seringkali dipandang sebagai tolok ukur kesuksesan utama dalam hidup. Tak jarang kita mendengar keluhan dan gerutu dari rekan-rekan pekerja yang merasa gaji tak sebanding dengan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan. Namun, adakah perspektif lain yang lebih bermanfaat untuk ditelaah? 

Melalui artikel ini, kita akan mengupas nasehat bijak yang menawarkan sudut pandang segar tentang makna sesungguhnya dari gaji dan upah.

Inti dari nasehat tersebut adalah sebuah premis: jika kinerja kita dinilai lebih tinggi dari gaji yang kita terima, maka selisih tersebut akan terganti dalam bentuk lain seperti kesehatan prima, kebahagiaan, lingkungan sosial yang baik, serta peluang baru dalam hidup. 

Sebaliknya, jika gaji yang kita terima melebihi kinerja yang kita berikan, kelebihan tersebut berpotensi diambil kembali melalui cara-cara yang tak terduga, seperti masalah kesehatan, kegelisahan, kehilangan, atau hal-hal buruk lainnya.

Pada awalnya, premis ini mungkin terdengar asing dan sulit diterima akal sehat. Bagaimana mungkin kompensasi kerja dapat diukur dengan hal-hal non-materiil seperti kebahagiaan atau masalah kesehatan? 

Namun, jika kita menengok lebih jauh, ada beberapa kebenaran fundamental yang tersirat di baliknya.

Pertama, kita perlu menyadari bahwa gaji dan upah bukanlah segalanya dalam kehidupan. Betapapun besarnya jumlah nominal yang kita terima, jika kita mengabaikan aspek-aspek lain seperti kesehatan mental, hubungan sosial yang berkualitas, dan keseimbangan hidup, maka kita hanya mengejar kepuasan semu yang tak akan bertahan lama. 

Sebaliknya, meskipun gaji kita terbatas, jika kita mampu menjaga kesehatan fisik dan mental, memiliki lingkungan sosial yang mendukung, serta menemukan makna dan kebahagiaan dalam pekerjaan kita, kita akan merasa lebih puas dan sejahtera secara keseluruhan.

Contohnya, kita mungkin mengenal seseorang yang berpenghasilan tinggi namun hidupnya dipenuhi stress, kecemasan, dan hubungan sosial yang berantakan. 

Di sisi lain, ada juga orang-orang yang meskipun berpenghasilan sederhana, namun tetap bisa bahagia karena memiliki lingkungan keluarga dan teman-teman yang hangat, hobi yang menyenangkan, serta passion yang membuat hidup terasa bermakna. 

Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan dan pemenuhan hidup tak selalu berbanding lurus dengan jumlah gaji yang diterima.

Kedua, premis ini mengingatkan kita tentang prinsip keseimbangan dalam kehidupan. Jika kita terlalu memfokuskan diri pada pencapaian materiil semata seperti mengejar gaji yang tinggi, kita berisiko kehilangan aspek-aspek lain yang justru memberikan makna dan kualitas hidup yang lebih tinggi. 

Tekanan untuk selalu meningkatkan penghasilan bisa membuat kita tenggelam dalam budaya kerja berlebihan, mengabaikan keluarga dan hobi, serta rentan terkena masalah kesehatan akibat stres berkepanjangan.

Sebaliknya, jika kita terlalu berlebihan dalam mengejar materi seperti gaji yang jauh melebihi kinerja, kita mungkin akan menemui konsekuensi negatif seperti rasa bersalah, ketidakpuasan batin, atau bahkan penyakit fisik akibat gaya hidup yang tidak sehat. 

Pada akhirnya, kelebihan materi itu sendiri justru tidak dapat dinikmati dengan baik karena dibayangi ketidakseimbangan dalam hidup.

Ketiga, nasehat ini mengajak kita untuk bersyukur dan menghargai apa yang kita miliki saat ini. Dengan melihat sekeliling dan menyadari bahwa banyak orang yang berjuang lebih berat namun tetap tegar menghadapi kesulitan hidup, kita dapat menemukan perspektif baru tentang situasi kita sendiri.

Rasa syukur dan apresiasi terhadap apa yang kita miliki, meskipun sederhana, dapat menjauhkan kita dari perangkap mengejar kepuasan materiil yang tak ada habisnya.

Sebagai contoh, kita bisa melihat para pekerja bangunan atau buruh pabrik yang setiap hari banting tulang demi menghidupi keluarga dengan penghasilan pas-pasan. 

Namun, mereka tetap bersemangat dan bersyukur bisa memberi nafkah bagi orang-orang tercinta. Atau kita juga bisa melihat para pekerja sosial dan relawan yang rela berkorban tanpa mengharapkan imbalan materi. 

Mereka menjalani hidup dengan penuh makna dan kebahagiaan meski tanpa gaji besar. Contoh-contoh ini mengingatkan kita untuk tidak mengeluhkan situasi kita yang mungkin jauh lebih beruntung.

Namun, tentu saja, premis ini bukan berarti bahwa kita harus menerima begitu saja ketidakadilan atau eksploitasi dalam dunia kerja. 

Upah yang layak dan kondisi kerja yang manusiawi tetaplah hak asasi setiap pekerja yang harus diperjuangkan. 

Tetapi, premis ini mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam mengejar gaji sebagai tujuan akhir yang mengabaikan aspek-aspek lain yang sama pentingnya dalam kehidupan.

Pada akhirnya, artikel ini mengajak kita untuk merenungkan kembali makna sesungguhnya di balik gaji dan upah. 

Meskipun kompensasi finansial penting, kita tidak boleh melupakan bahwa kehidupan yang berkualitas dan bermakna mensyaratkan keseimbangan antara aspek materiil dan non-materiil seperti kesehatan, hubungan sosial, pemenuhan batin, serta kebahagiaan sejati. 

Dengan memahami perspektif ini, kita dapat menjadi lebih bijaksana dalam menilai situasi kita sendiri, lebih bersyukur atas apa yang kita miliki, dan lebih termotivasi untuk mengejar kehidupan yang seimbang, bermakna, dan memberikan kepuasan batin yang sesungguhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun