"Kegelisahan yang muncul mencerminkan kekurangan dan kelemahan sistem."
Masa tenang, periode jeda sebelum pemungutan suara, seharusnya menjadi momen refleksi bagi para pemilih. Di tengah hiruk pikuk kampanye, masa tenang hadir sebagai ruang untuk mencerna informasi dan memantapkan pilihan tanpa pengaruh eksternal. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa masa tenang sering kali diwarnai dengan kegelisahan, baik bagi penyelenggara, kontestan, maupun pemilih.
Akar Permasalahan
# Budaya Politik
Budaya politik yang belum matang menjadi salah satu faktor utama. Politik uang, hoaks, dan intimidasi masih menjadi senjata ampuh untuk meraih suara, meskipun risikonya tinggi. Celah regulasi yang longgar juga membuka peluang bagi pelanggaran aturan, seperti kampanye terselubung dan penyalahgunaan media sosial. Kapasitas dan sumber daya Bawaslu dan KPU yang terbatas untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia semakin memperparah situasi.
# Ketidakpercayaan Publik
Ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggara dan kontestan pemilu juga menjadi faktor penting. Ketidakjelasan penegakan hukum dan potensi manipulasi hasil pemilu memicu keraguan dan kekhawatiran di tengah masyarakat. Hal ini dapat menurunkan partisipasi pemilih dan menggerus kepercayaan terhadap demokrasi.
Dampak yang Mengkhawatirkan
Masa tenang yang gelisah bukan hanya mengganggu proses demokrasi, tetapi juga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif yang perlu diwaspadai. Berikut adalah beberapa contohnya: