Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Guru Penggerak Menimbulkan Diskriminasi Karier Guru?

27 Januari 2024   11:19 Diperbarui: 27 Januari 2024   11:20 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Dokumen pribadi 

"Bukan gelar yang menentukan kepemimpinan, tetapi kepemimpinanlah yang menentukan gelar."

Momentum untuk merefleksi dan meninjau kembali peraturan pendidikan terkini kembali mengemuka, kali ini melalui sorotan tajam dari Catur Nurrochman Oktavian, seorang tokoh penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan oleh harian Kompas pada tanggal 27 Januari 2024, Oktavian, yang menjabat sebagai Bendahara Pengurus Besar PGRI dan Wakil Ketua Dewan Eksekutif APKS PGRI, menyoroti perlunya evaluasi menyeluruh terhadap Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021. Fokus utamanya adalah pada ketentuan kontroversial yang mewajibkan calon kepala sekolah untuk memiliki sertifikat guru penggerak, menimbulkan pertanyaan kritis mengenai relevansi dan dampaknya dalam dunia pendidikan nasional.

Tangkap layar opini Kompas. Sumber foto: dokumen pribadi 
Tangkap layar opini Kompas. Sumber foto: dokumen pribadi 

Ini bukan hanya sekadar kritik terhadap regulasi baru, tetapi juga panggilan untuk refleksi mendalam terhadap arah kebijakan pendidikan di Indonesia. Catur Nurrochman Oktavian menggugah kesadaran akan kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh para pendidik, serta perlunya kebijakan yang memperhatikan berbagai konteks dan dinamika di lapangan. Dalam era di mana pendidikan dihadapkan pada berbagai transformasi dan tantangan, tinjauan kritis seperti yang diusulkan oleh Oktavian menjadi semakin penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diimplementasikan benar-benar berkontribusi pada peningkatan mutu pendidikan secara menyeluruh.

Setelah beberapa tahun diterapkan, terdapat sejumlah kendala dalam implementasi kebijakan ini di lapangan. Pertama, tidak semua guru telah mengikuti pelatihan guru penggerak. Apalagi di daerah terpencil, jumlah guru penggerak sangat terbatas. Akibatnya, perekrutan kepala sekolah menjadi tidak maksimal karena calon yang memenuhi syarat sangat sedikit. 

Kedua, persyaratan sertifikat guru penggerak dinilai diskriminatif oleh guru non-penggerak yang sebenarnya memiliki kompetensi memadai untuk menjadi kepala sekolah. Mereka jadi kehilangan kesempatan mengembangkan karir meski punya potensi kepemimpinan dan manajerial yang baik.

Ketiga, proses rekrutmen jadi kurang kompetitif dan objektif karena calon kepala sekolah dibatasi dari guru bersertifikat penggerak saja. Seharusnya semua guru diberi kesempatan seleksi calon kepala sekolah berdasarkan kompetensi, pengalaman, dan rekam jejak mengajar. 

Keempat, pembatasan calon kepala sekolah dari guru penggerak bisa menurunkan mutu pemimpin sekolah karena yang terpilih belum tentu merupakan calon terbaik dari seluruh guru. Proses seleksi perlu melibatkan semua guru tanpa diskriminasi sertifikat penggerak atau non-penggerak.

Kelima, persyaratan sertifikat guru penggerak untuk jabatan pengawas sekolah juga perlu dievaluasi. Pada praktiknya, banyak guru senior dan berpengalaman yang kompeten menjadi pengawas meski belum bersertifikat penggerak. Mereka telah lama mengabdi membina guru di sekolah binaannya.

Sumber foto: dokumen pribadi 
Sumber foto: dokumen pribadi 

Berdasarkan berbagai kendala tersebut, saya sepakat bahwa kebijakan perekrutan kepala dan pengawas sekolah dari guru penggerak perlu ditinjau ulang. Proses rekrutmen sebaiknya dibuka untuk semua guru, baik penggerak maupun non-penggerak. 

Yang terpenting, Kemendikbudristek perlu menerapkan sistem rekrutmen yang objektif dan kompetitif untuk mendapatkan calon terbaik dari seluruh guru. Proses seleksi harus mengedepankan kompetensi, integritas, visi misi, rekam jejak mengajar, dan potensi kepemimpinan calon.

Bukan hanya sekadar memenuhi syarat administratif sertifikat guru penggerak. Dengan demikian, mutu pemimpin dan pengawas sekolah bisa terjaga bahkan meningkat. Mereka dipilih berdasarkan kapabilitas dan kinerja terbaik, bukan sekadar label tertentu.

Sertifikasi guru penggerak tentu tetap diperlukan untuk meningkatkan kompetensi guru secara berkala. Namun, sertifikat itu seharusnya tidak dijadikan syarat mutlak untuk menentukan kelayakan seorang guru menduduki jabatan struktural seperti kepala dan pengawas sekolah. 

Pada akhirnya, semua kebijakan harus menuju pada satu tujuan: memperoleh pemimpin dan pengawas sekolah yang berkualitas dan berdedikasi tinggi demi meningkatkan mutu pendidikan secara nasional. Kepentingan siswa dan sekolah harus diutamakan, bukan sekadar memenuhi persyaratan birokrasi yang kadang tidak relevan.

Dengan menyelami analisis tajam terhadap kebijakan rekrutmen kepala dan pengawas sekolah, sangat jelas bahwa terdapat peluang besar untuk meningkatkan objektivitas dan orientasi pada mutu. Upaya evaluasi ini bukan sekadar kritik, melainkan suara yang menggema untuk membantu menciptakan sistem pendidikan yang lebih baik di Indonesia. Semoga refleksi ini dapat dijadikan pijakan berharga oleh Kemendikbudristek dalam merancang perubahan regulasi yang lebih efektif, membawa kemajuan yang substansial bagi dunia pendidikan tanah air.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun