"Jadilah guru yang mengajar dengan hati, bukan karena tuntutan administrasi."
Bayangkan jika seorang dokter dinilai kinerjanya dari seberapa banyak seminar yang diikuti dan penelitian yang dibuatnya. Bukan dari seberapa baik dia menangani pasien dan menyembuhkan penyakit. Tentu saja hal itu tak masuk akal bukan? Ironisnya, hal serupa tengah dialami ribuan guru di Indonesia saat ini.
Skema penilaian kinerja guru oleh Kemendikbud lebih menekankan pada aspek kuantitas dan capaian administrasi, bukan kualitas mengajar guru di kelas. Guru dituntut mengumpulkan 32 poin dari kegiatan di luar kelas seperti seminar, diklat, dan lain-lain. Akibatnya, banyak guru kehilangan fokus dari tugas utamanya, yaitu memberi pembelajaran berkualitas pada siswa di kelas. Sudah saatnya Kemendikbud merevisi skema penilaian ini agar lebih berorientasi pada kualitas mengajar guru.
Salah satu persoalan utama adalah tuntutan bagi guru untuk mengumpulkan 32 poin penilaian kinerja dari berbagai kegiatan, bahkan di luar sekolah. Akibatnya, banyak guru menjadi sangat sibuk mengurusi berbagai urusan administrasi dan kegiatan di luar kelas demi memenuhi target penilaian tersebut. Mereka menjadi jarang memiliki waktu untuk persiapan mengajar yang matang dan interaksi dengan siswa di kelas pun berkurang drastis.
Padahal, seharusnya kualitas pembelajaran dan interaksi guru dengan siswa di dalam kelas menjadi inti penilaian kinerja guru. Bukan berkutat pada hal-hal administratif dan kuantitas kegiatan di luar kelas. Penilaian kinerja guru idealnya mampu mendorong peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru dalam mengajar.
Oleh karena itu, Kemendikbud perlu segera merevisi skema penilaian kinerja guru agar lebih berfokus menilai kualitas guru dalam mengajar di kelas. Misalnya dengan mengurangi porsi penilaian dari kegiatan di luar kelas dan menambah penilaian berdasarkan kinerja mengajar melalui bukti portofolio dan pengamatan.Â
Portofolio bisa berisi dokumentasi kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru di kelas. Dengan penilaian yang lebih proporsional ini, guru akan lebih termotivasi meningkatkan kualitas pembelajarannya di kelas.
Selain itu, perlu juga ada parameter penilaian kinerja mengajar yang jelas dan objektif untuk mengukur kompetensi guru. Seperti penggunaan metode mengajar inovatif, pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran, dan kemampuan melakukan penilaian otentik terhadap siswa.Â
Guru juga perlu diberikan umpan balik dan rekomendasi perbaikan dari hasil penilaian kinerja mengajarnya, bukan sekedar nilai angka. Dengan begitu, penilaian kinerja benar-benar berdampak pada peningkatan kompetensi guru secara berkelanjutan.
Dengan reformasi skema penilaian kinerja guru yang lebih menitikberatkan kualitas mengajar, diharapkan mutu pendidikan di Indonesia dapat meningkat. Guru akan lebih fokus meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya dalam melaksanakan tugas pokok, yaitu mengajar siswa dengan baik di kelas, bukan sibuk mengurusi administrasi penilaian yang berlebihan.
Sudah waktunya kita berkaca pada negara-negara maju yang menjadikan kualitas pendidikan sebagai kunci kemajuan bangsa. Salah satu faktornya adalah penilaian kinerja guru yang berfokus peningkatan kompetensi mengajar, bukan sekadar aspek kuantitas dan adminstrasi belaka.Â
Dengan mengedepankan kualitas guru dalam proses pembelajaran, cita-cita mencerdaskan anak bangsa dan membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai. Inilah reformasi skema penilaian kinerja guru yang harus segera diwujudkan Kemendikbud demi masa depan putera-puteri tercinta kita. Cita-cita mulia bangsa ini harus dimulai dari para guru yang bekerja dengan hati, bukan terbebani penilaian yang tak efektif. Kualitas pendidikan merupakan kunci kemajuan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H