Di Indonesia, dinamika ini menunjukkan kecenderungan yang menarik, di mana para calon cenderung lebih tertarik pada strategi 'perang poster' daripada 'perang tulisan'.Â
Fenomena ini memperlihatkan bahwa dalam upaya menarik pemilih, terkesan lebih efektif menggunakan citra visual dalam bentuk poster dengan pesan singkat dan gambar yang mencolok, yang kadangkala dapat menimbulkan kesan yang lebih kuat ketimbang teks panjang atau argumen yang disampaikan secara tertulis.
Penting untuk dicatat bahwa pilihan strategi 'perang poster' mungkin juga dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kultural di Indonesia.Â
Faktor-faktor seperti tingkat literasi yang cenderung rendah di beberapa daerah, preferensi terhadap komunikasi visual yang lebih cepat dipahami oleh sebagian besar masyarakat, serta keterbatasan akses terhadap informasi dan media tulisan turut berperan dalam dominasi strategi 'perang poster'.Â
Hal ini menegaskan bahwa dalam panggung politik Indonesia, efektivitas komunikasi tidak selalu bergantung pada kedalaman tulisan, melainkan pada kemampuan untuk menarik perhatian dalam sekejap mata melalui media visual yang kuat.
Poster: Gambar Lebih dari Seribu Kata
Dalam budaya politik yang kental di Indonesia, poster sering dianggap sebagai senjata utama untuk mencuri perhatian. Calon legislatif secara umum cenderung lebih memilih taktik visual dengan menampilkan diri mereka melalui poster berisi foto diri yang disertai slogan-slogan singkat.Â
Pendekatan ini bertujuan menciptakan impak visual yang kuat, memudahkan pemilih untuk mengingatnya, terutama dalam lingkungan masyarakat dengan tingkat literasi yang masih rendah.Â
Penggunaan poster secara intensif juga tercermin dari upaya calon legislatif untuk mencapai jangkauan yang lebih luas dan menciptakan kesan yang instan bagi pemilih potensial.
Kurangnya Strategi 'Perang Tulisan'
Dalam kancah politik Indonesia, fenomena mengkhawatirkan terjadi saat strategi 'perang tulisan' semakin tenggelam. Calon legislatif tampaknya lebih nyaman mengandalkan media-media visual yang cepat diingat, seperti poster, video singkat, atau kampanye berbasis gambar. Sayangnya, penggunaan yang minim terhadap media tulisan seperti artikel, manifesto, atau riset sebagai alat komunikasi dengan pemilih terlihat menjadi kekurangan yang signifikan.Â