Suara sandal jepit yang aku pakai terdengar jelas sepanjang jalan dari masjid. Suasana ba’da Maghrib di kampung Teratai sudah sepi. Tidak ada kendaraan yang berlalu lalang. Letak masjid yang hanya seratus meter an dari rumah membuat aku hanya perlu berjalan kaki. Ya … hitung hitung sambil mengamalkan ajaran Rasul. Begitu sampai teras depan rumah, langsung aku lepas sandal kiri baru diikuti kaki kanan. Dan kulangkahkan kaki kananku menaiki teras menuju pintu rumah.
“Assalamualaikum....” ucap ku memberi salam.
“Walaikum salam…” jawab istriku dari dalam kamar.
Seperti biasa, begitu sampai rumah aku tidak langsung ganti pakaian, tetapi salat sunah dua rakaat terlebih dahulu. Setelah selesai barulah aku ganti pakaian dengan pakaian rumah. Aku melihat istriku masih rebahan di kasur dengan posisi yang sama seperti aku mau berangkat ke masjid tadi. Kedua tangannya memegang ponsel, dan pandangan matanya tertuju penuh ke layar ponselnya.
“Sudah salat Maghrib sayang….?” kataku sambil menggantungkan baju koko dan sarung yang tadi aku pakai untuk salat.
“Belum…. Sebentar lagi” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan matanya dari ponsel. “Lho kok, nggak langsung salat? Ini sudah hampir setengah tujuh malam, sebentar lagi masuk waktu Isya”, komentar ku sambil beranjak menuju ruang makan. Aku biasa makan setelah selesai salat Maghrib. Tak lupa sebelumnya aku menanyakan apakah ketiga anakku sudah salat Maghrib atau belum. Alhamdulillah aku dikaruniai anak-anak yang soleh dan solehah. Suatu nikmat yang luar biasa dari Allah yang wajib aku syukuri.
“Iya.. tahu…” jawab istriku setelah keluar dari kamar dan mengikutiku ke ruang makan. “Lagi apa sih? Kok sampai belum salat juga. Kan nggak lagi berhalangan.” “Ini… lagi milih pakaian buat senam” kata istriku sambil menunjukkan layar ponselnya. “Kan bisa nanti, setelah salat kan bisa dilanjutkan lagi”, jawabku setelah melihat foto pakaian senam yang ditawarkan oleh sebuah toko online.
“Iya.. iya… ini mau salat” kata istriku sambil meletakkan ponselnya di atas meja makan.
Tidak lama terdengar suara gemericik air dari kamar mandi, berarti istriku sedang ambil air wudu. Aku pun melanjutkan mengambil piring dan mengisinya dengan nasi, sayur dan lauk pauk.
Sebenarnya sudah dari siang tadi aku melihat istriku sibuk dengan ponselnya. Waktu salat Ashar sampai hampir habis baru dikerjakan salatnya. Sepuluh menit kemudian istriku keluar dari kamar, dan langsung menuju ruang makan.
“Sudah selesai salatnya?” tanyaku
“Alhamdulillah... Baru saja selesai. Ini makannya sudah?” kata istriku sambil membereskan piring kotor bekas aku makan barusan.
“Sudah... Itu tadi belanja online lagi ya...?” tanyaku basa basi, karena aku tadi sudah lihat kalo di ponsel istriku terlihat dia sedang membuka toko online.
“Iya sayang... Beli pakaian buat senam. Yang lama sudah jelek.”, jelasnya. “Uangnya ada?” tanyaku sambil senyum senyum. Karena aku tahu, nanti kalo giliran mau transfer ke toko yang jual barang, istriku pasti minta uangnya ke aku.
“Belum... Kan belum minta” jawabnya manja. Dan aku sudah paham benar, istriku kalo lagi ada maunya langsung keluar gaya manjanya.
“Buat apa sih senam? Kan badan Ibu masih ideal” kata ku sambil melangkah ke ruang keluarga.
“Ideal apanya…? Coba bapak lihat timbangan ini” kata istriku sambil menaiki timbangan badan yang memang tersedia di rumah kami. Dulu beli nya juga lewat online. “Ini sudah naik lagi timbangannya. Bulan lalu nggak segini..., makanya Ibu tadi itu mau beli jamu sama pakaian senam. Ibu mau ngecilin perut lagi”.
“ Oh gitu... Boleh saja sih, tapi jangan sampai salatnya jadi keteteran kayak tadi. Bapak lihat salat Ashar dan Maghrib barusan sudah nggak di awal waktu lagi”.
“Lha gimana lagi... Ibu kan nggak pengen badan Ibu bertambah berat apalagi terlihat gendut, nanti Bapak nggak suka lagi sama Ibu”. ujar istriku sambil melirik ke arah ku “Bukan gendut, tapi montok ... Kan ibu semakin menarik buat Bapak kalo ibu tambah montok” godaku sambil senyum-senyum. Istriku bukan tergolong wanita yang subur pertumbuhan badannya. Dulu, di awal baru kenal badanya langsing cenderung kurus, mungkin kalau ditimbang hanya sekitar tiga puluh lima kilogram berat badannya. Kalo sekarang sudah lebih berisi, tetapi belum termasuk kategori ibu-ibu yang gemuk.
“ Masa sih… Bukannya Ibu kelihatan jadi jelek. Pokoknya Ibu nggak mau gendut, titik. Apa nanti kata ibu-ibu yang lain kalo lihat Ibu badanya lebar?” katanya sambil memegangi perut dan pinggangnya sendiri.
“Ibu sih terlalu mengkhawatirkan omongan orang. Dengar ini Bu..., setiap orang itu ada saja masalah dalam hidupnya. Jadi jangan kita terlalu khawatir dengan omongan orang lain terhadap masalah yang sedang kita hadapi, karena yang ngomongin kita itu sendiri tidak lepas dari masalah”, kata ku
“Iya pak ustadz…” sela istriku. Kebiasaan istriku kalau aku sudah mulai mengeluarkan jurus-jurus agama, istriku langsung mengganti panggilan dari bapak menjadi pak ustadz. “Coba ibu perhatikan ini” kataku sambil menyodorkan ponselku. Sengaja aku carikan ulasan yang mendalam tentang timbangan amal di sebuah situs yang khusus membahas agama Islam. Situs ini selalu menjadi rujukan ku saat aku menemui masalah terkait agama Islam, karena semua dibahas secara komprehensif antara ulasan Al Qur’an dan hadits shahih. Dan istriku mulai membacanya.
“Oh iya ini Pak... Di hadits yang diriwayatkan imam Muslim ini disebutkan bahwa ‘Sungguh Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, melainkan melihat hati dan amal kalian’. Jadi amal perbuatan kita lebih utama dari penampilan, gitu kan pak...”.
“Benar Bu... Penilaian Allah tertuju pada hal-hal yang lebih dalam dari sekadar yang tampak dari tubuh dan yang terkesan mewah di mata kebanyakan manusia. Bukan kesempurnaan fisik maupun kekayaan harta benda, tetapi pada kualitas hati dan mutu perbuatan hambanya. Coba ibu lihat di hadits itu, disitu dibahas masalah hati dan amal. Hati seharusnya menjadi perhatian utama daripada lahiriyah. Karena baiknya hati, baik pula amalan lainnya. Karena hati yang bersih, amalan yang lain bisa diterima. Beda halnya jika memiliki hati yang rusak, terutama hati yang bercampur noda syirik. Terus di hadits itu juga disebut tentang amal, di akhirat kelak yang akan ditimbang adalah amal kita. Jika timbangan amal baiknya lebih berat, maka pertanda ia akan selamat. Sebaliknya, jika timbangan amal buruknya yang lebih berat, maka pertanda ia akan celaka” tambah ku untuk menjelaskan makna hadits tad
“Iya pak ustadz... Terus kalo Ibu pengen punya timbangan amal yang berat gimana cara mendapatkannya?”
“ Nah... kalo tentang hal itu coba itu perhatikan hadits ini” kata ku sambil mencari hadits yang aku maksud. Setelah ketemu langsung aku sodorkan layar ponselku kepada istriku. “Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ini disebutkan bahwa ‘Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan amal selain akhlak yang baik’. Dalam hadits yang lain yang juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah bersabda ‘... Aku juga menjamin rumah di surga yang paling tinggi bagi seseorang yang berakhlak baik’. Bila amal kebaikan yang lebih berat dalam timbangan akhirat, maka ia akan mendapatkan keberuntungan dan menyenangkan. Karena pertanda awal akan dimasukkan kedalam surga. Adapun apabila timbangan kebaikan lebih ringan dari keburukan, maka itu merupakan kerugian yang panjang, karena ia akan menjadi penghuni neraka. Gimana Bu..., paham?”
“Siap pak ustadz…” kata istriku sambil ngeloyor pergi ke arah kamar.
“Ibu mau kemana?” Tidak terdengar jawaban dari istriku. Hanya ada suara bunyi gemericik air di kamar mandi. Tidak lama kemudian dia keluar dengan wajah yang basah bekas air.
“Pak, lihat tuh jam berapa sekarang? Sepuluh menit lagi waktu salat Isya”, katanya sambil menunjuk jam dinding yang ada di atas pintu ruang keluarga.
“Oh iya... Uang untuk beli pakaian senamnya nanti ya, sehabis salat Bapak kasih ke Ibu”, kata ku sambil mengenakan sarung dan baju koko yang tadi aku gantung di kamar. “Nggak jadi ah… Yang lama masih bisa dipakai kok…”
“Lha kok malah nggak jadi...”, jawabku sambil mengenakan kopiah resam yang juga dibeli istriku lewat toko online.
“Tapi uangnya tetap buat Ibu ya....”, pintanya.
“Katanya nggak jadi beli, kok uangnya masih diminta?”, jawabku sambil senyum-senyum.
“Iya pak... Ibu mau beli baju seragam sekolah. Ibu lihat baju seragam keponakan kita sudah lusuh”, ucap istriku sambil mengenakan mukenanya.
Akhirnya aku pamit ke masjid untuk salat Isya. Hatiku tenang karena istriku sudah paham bahwa urusan berat badan sudah tidak menjadi pokok pikiran bagi dirinya. Terbukti sekarang dia sudah siap-siap dengan mukenanya sambil menunggu adzan salat Isya.
Kampung Teratai, 26 Sapar 1443 H
Abu Yusuf Maulana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H