Mohon tunggu...
syahmardi yacob
syahmardi yacob Mohon Tunggu... Dosen - Guru Besar Manajemen Pemasaran Universitas Jambi

Prof. Dr. Syahmardi Yacob, Guru Besar Manajemen Pemasaran di Universitas Jambi, memiliki passion yang mendalam dalam dunia akademik dan penelitian, khususnya di bidang strategi pemasaran, pemasaran pariwisata, pemasaran ritel, politik pemasaran, serta pemasaran di sektor pendidikan tinggi. Selain itu, beliau juga seorang penulis aktif yang tertarik menyajikan wawasan pemasaran strategis melalui tulisan beberapa media online di grup jawa pos Kepribadian beliau yang penuh semangat dan dedikasi tercermin dalam hobinya yang beragam, seperti menulis, membaca, dan bermain tenis. Menulis menjadi sarana untuk menyampaikan ide-ide segar dan relevan di dunia pemasaran, baik dari perspektif teoritis maupun aplikatif. Gaya beliau yang fokus, informatif, dan tajam dalam menganalisis isu-isu pemasaran menjadikan tulisannya memiliki nilai tambah yang kuat, khususnya dalam memberikan pencerahan dan solusi praktis di ranah pemasaran Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Menelisik Aplikasi Coretax: Benarkah Mampu Meraup 1.500 Triliun Rupiah?

16 Januari 2025   14:47 Diperbarui: 17 Januari 2025   07:44 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak Januari 2025, pemerintah Indonesia meluncurkan aplikasi Coretax sebagai bagian dari reformasi perpajakan yang ambisius. Langkah ini merupakan respons atas tantangan yang terus dihadapi dalam meningkatkan penerimaan pajak, memperluas basis pajak, dan menekan kebocoran pendapatan negara.

Dengan proyeksi penerimaan pajak sebesar 1.500 triliun rupiah, Coretax diharapkan menjadi solusi digital yang mampu menjawab berbagai permasalahan tersebut. Namun, target besar ini menimbulkan pertanyaan: seberapa realistis pencapaian angka tersebut?

Untuk memberikan gambaran, realisasi penerimaan pajak di Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar Rp1.300 triliun, sebagaimana dilaporkan oleh Kementerian Keuangan dalam APBN KiTa edisi Desember 2023.

Angka ini mengalami pertumbuhan dibandingkan tahun sebelumnya, didorong oleh implementasi tax amnesty tahap kedua dan perbaikan pengawasan pajak.

Namun, tantangan masih besar: tingkat kepatuhan wajib pajak, yang pada 2023 hanya mencapai 72%, menunjukkan bahwa ada potensi besar yang belum tergarap sepenuhnya.

Menurut data Bank Dunia, kontribusi penerimaan pajak terhadap PDB (rasio pajak) Indonesia hanya sekitar 10-12% dalam satu dekade terakhir, jauh di bawah rata-rata negara-negara berkembang di Asia Tenggara, seperti Vietnam (18%) dan Thailand (16%).

Situasi ini memperkuat urgensi inovasi teknologi untuk memperbaiki kinerja perpajakan. Dalam konteks inilah, Coretax diperkenalkan dengan janji membawa revolusi digital dalam administrasi perpajakan nasional.

Apa Itu Coretax?

Coretax adalah sistem digitalisasi perpajakan terbaru yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia sebagai bagian dari upaya modernisasi administrasi perpajakan.

Aplikasi ini dirancang untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam proses pengelolaan pajak. Coretax mengintegrasikan berbagai tahap administrasi pajak, mulai dari pelaporan, pembayaran, hingga pengawasan wajib pajak, yang dilakukan secara real-time.

Sistem ini tidak hanya mempercepat proses administratif, tetapi juga memberikan kemampuan analitik yang lebih canggih untuk mendukung pengambilan keputusan strategis dalam kebijakan perpajakan.

Salah satu fitur utama Coretax adalah pemanfaatan teknologi berbasis data besar (big data) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Dengan teknologi ini, Coretax mampu menganalisis data dalam jumlah besar dari berbagai sumber secara otomatis dan sistematis.

Teknologi big data memungkinkan pemerintah untuk mengidentifikasi pola perilaku wajib pajak, memetakan sektor-sektor ekonomi yang selama ini kurang tergarap, serta mendeteksi potensi kebocoran pajak.

Sebagai contoh, dengan mengintegrasikan data dari perbankan, transaksi e-commerce, dan catatan kependudukan, Coretax dapat mengenali wajib pajak yang belum melaporkan pendapatannya secara benar.

Kecerdasan buatan, di sisi lain, membantu meningkatkan efisiensi dalam proses pengawasan dan penegakan hukum. Teknologi ini memungkinkan sistem untuk mendeteksi anomali dalam pelaporan pajak, memprediksi risiko penghindaran pajak, dan memberikan rekomendasi tindak lanjut kepada petugas pajak.

Misalnya, jika ada wajib pajak yang secara konsisten melaporkan pendapatan jauh di bawah rata-rata industri, Coretax dapat menandai kasus tersebut sebagai prioritas untuk diaudit.

Dengan demikian, sumber daya manusia di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat dialokasikan secara lebih efektif untuk menangani kasus-kasus yang berpotensi besar.

Pemerintah menaruh harapan besar pada Coretax untuk mengatasi berbagai tantangan yang selama ini menghambat optimalisasi penerimaan pajak. Salah satu momok utama dalam pengelolaan pajak di Indonesia adalah rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan data dari DJP, pada tahun 2023, tingkat kepatuhan formal wajib pajak hanya mencapai 72%.

Hal ini menunjukkan bahwa hampir 30% dari wajib pajak yang terdaftar tidak memenuhi kewajiban mereka sesuai peraturan yang berlaku. Selain itu, sektor informal yang mendominasi perekonomian Indonesia sering kali berada di luar jangkauan sistem perpajakan formal.

Melalui Coretax, pemerintah berharap dapat memperluas basis pajak dengan lebih baik, termasuk menjangkau pelaku usaha di sektor informal. Dengan integrasi data lintas sektor dan kemampuan analisis yang lebih tajam, Coretax dapat membantu mengidentifikasi wajib pajak potensial yang sebelumnya tidak terdata.

Sebagai ilustrasi, data dari International Monetary Fund (IMF) menunjukkan bahwa penerapan teknologi digital di administrasi perpajakan di negara-negara berkembang mampu meningkatkan basis pajak hingga 15% dalam lima tahun pertama. Jika tren serupa diterapkan di Indonesia, maka potensi tambahan penerimaan negara dari basis pajak baru akan sangat signifikan.

Selain meningkatkan basis pajak, Coretax juga diharapkan mampu mengurangi praktik penghindaran pajak yang selama ini menjadi salah satu penyebab utama kebocoran penerimaan negara. Menurut laporan Global Financial Integrity (2022), Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak hingga 4% dari PDB setiap tahunnya akibat penghindaran pajak, baik melalui pelaporan yang tidak benar maupun praktik transfer pricing di perusahaan multinasional.

Dengan kemampuan untuk menganalisis data transaksi lintas batas dan mendeteksi pola penghindaran pajak secara otomatis, Coretax dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk menekan angka tersebut.

Namun, optimisme terhadap Coretax tidak terlepas dari berbagai tantangan. Implementasi teknologi canggih seperti big data dan kecerdasan buatan memerlukan infrastruktur digital yang kuat, sumber daya manusia yang kompeten, dan dukungan regulasi yang memadai.

Sebagai contoh, India, melalui sistem Goods and Services Tax Network (GSTN), menghadapi berbagai kendala teknis dan logistik pada tahun-tahun awal peluncurannya, termasuk gangguan pada server dan kurangnya pemahaman pengguna terhadap sistem baru.

Untuk itu, pemerintah Indonesia perlu memastikan kesiapan infrastruktur teknologi serta memberikan pelatihan yang memadai kepada petugas pajak dan wajib pajak agar dapat mengoperasikan sistem ini dengan baik.

Dengan potensi besar yang dimilikinya, Coretax diharapkan tidak hanya menjadi alat administratif, tetapi juga motor penggerak reformasi perpajakan di Indonesia. Jika diimplementasikan dengan efektif, Coretax dapat membantu pemerintah mencapai target ambisiusnya, termasuk proyeksi penerimaan pajak sebesar 1.500 triliun rupiah pada tahun 2025.

Namun, keberhasilan sistem ini juga memerlukan sinergi yang kuat antara teknologi, regulasi, dan partisipasi aktif dari masyarakat serta dunia usaha. Coretax bukan sekadar inovasi teknologi, tetapi juga simbol dari upaya Indonesia untuk membangun sistem perpajakan yang lebih modern, transparan, dan inklusif.

 Digitalisasi Perpajakan: Potensi dan Tantangan

Digitalisasi perpajakan melalui aplikasi Coretax merupakan langkah besar yang dirancang untuk menyelesaikan berbagai kendala mendasar dalam sistem perpajakan konvensional. Di Indonesia, tantangan seperti birokrasi yang lamban, kurangnya transparansi, serta kesulitan mendeteksi penghindaran pajak telah lama menjadi hambatan dalam mengoptimalkan penerimaan negara. Dengan memanfaatkan teknologi modern seperti big data, kecerdasan buatan (artificial intelligence), dan blockchain, Coretax bertujuan menciptakan sistem perpajakan yang lebih efisien, akurat, dan transparan. Namun, meskipun potensi yang ditawarkan sangat besar, penerapan teknologi ini di Indonesia tidak lepas dari tantangan struktural, teknis, dan kultural yang signifikan.

Dalam konteks big data, teknologi ini memungkinkan pemerintah untuk mengumpulkan dan menganalisis data secara masif dari berbagai sumber, seperti perbankan, e-commerce, hingga catatan kependudukan. Potensi ini dapat membantu pemerintah mengidentifikasi wajib pajak yang tidak terdaftar, mendeteksi ketidaksesuaian laporan pajak, serta memperluas basis pajak. Di beberapa negara maju, seperti Korea Selatan dan Estonia, penggunaan big data telah meningkatkan akurasi sistem perpajakan, menurunkan kebocoran pajak hingga 20% (OECD, 2022). Namun, di Indonesia, keberhasilan teknologi ini sangat bergantung pada kualitas data yang tersedia. Fragmentasi data yang tidak terintegrasi, inkonsistensi format, dan minimnya dokumentasi transaksi dari sektor informal menjadi kendala yang signifikan. Jika data yang dimasukkan ke dalam sistem Coretax tidak memadai atau akurat, efektivitas teknologi ini akan berkurang secara drastis.

Di sisi lain, kecerdasan buatan memiliki kemampuan untuk menganalisis pola perilaku wajib pajak berdasarkan data historis dan tren ekonomi terkini. Dengan memanfaatkan teknologi ini, pemerintah dapat memprediksi risiko penghindaran pajak dan menargetkan pengawasan yang lebih efektif kepada wajib pajak berisiko tinggi. Namun, keberhasilan implementasi kecerdasan buatan sangat bergantung pada kualitas algoritma yang digunakan dan representasi data yang adil. Di Indonesia, persoalan data yang tidak lengkap atau bias dapat berpotensi menghasilkan analisis yang keliru, seperti salah mengklasifikasikan wajib pajak kecil sebagai pelanggar. Hal ini tidak hanya merusak efektivitas sistem, tetapi juga berisiko menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan.

Teknologi blockchain menawarkan solusi transparansi dengan mencatat setiap transaksi secara permanen dalam sistem yang tidak dapat dimanipulasi. Dengan sifatnya yang immutable, teknologi ini mampu mencegah manipulasi data, baik oleh wajib pajak maupun oleh pihak internal administrasi perpajakan. Namun, penerapan blockchain memerlukan infrastruktur digital yang canggih, mahal, dan membutuhkan tenaga kerja dengan keahlian teknis tinggi. Tantangan ini menjadi relevan di Indonesia, mengingat kesenjangan infrastruktur teknologi yang signifikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Dalam laporan Speedtest Global Index (2024), kecepatan internet di Indonesia tercatat jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand. Situasi ini menunjukkan bahwa implementasi teknologi seperti Coretax, yang bergantung pada koneksi internet yang stabil, mungkin tidak akan berjalan secara optimal di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah terpencil dengan akses internet yang minim.

Pengalaman dari negara lain memberikan wawasan berharga tentang potensi dan risiko digitalisasi perpajakan. Sebagai contoh, implementasi Goods and Services Tax Network (GSTN) di India menunjukkan dampak positif pada penerimaan negara. Dalam tiga tahun setelah peluncurannya pada 2017, sistem ini berhasil meningkatkan penerimaan pajak sebesar 25% (Economic Times, 2020). Namun, penerapan GSTN di India tidak tanpa kendala. Pada awal peluncurannya, sistem ini menghadapi gangguan teknis seperti ketidakstabilan server yang menyebabkan keterlambatan pelaporan pajak. Selain itu, rendahnya pemahaman pengguna terhadap sistem baru mengakibatkan banyak pelaku usaha kesulitan beradaptasi. Tantangan serupa kemungkinan besar akan dihadapi Indonesia, mengingat tingkat literasi digital masyarakat yang beragam. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (2023), hanya sekitar 51% masyarakat Indonesia yang memiliki keterampilan digital dasar, sementara tingkat literasi digital lanjutan bahkan lebih rendah, yaitu sekitar 20%.

Kondisi Indonesia juga diperumit oleh dominasi sektor informal dalam perekonomian. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60% tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal. Banyak pelaku usaha di sektor ini tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan tidak tercatat dalam sistem perpajakan formal. Padahal, kontribusi sektor informal terhadap PDB diperkirakan mencapai 20-25% (IMF, 2023). Tanpa kebijakan khusus yang mendorong integrasi sektor informal ke dalam ekosistem pajak, potensi penerimaan pajak dari kelompok ini akan sulit direalisasikan meskipun teknologi seperti Coretax diterapkan.

Selain itu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan masih menjadi tantangan besar. Menurut survei Transparency International (2023), 35% masyarakat Indonesia menganggap institusi perpajakan tidak transparan, terutama karena berbagai kasus kebocoran pajak dan korupsi di masa lalu. Meskipun teknologi seperti blockchain dapat membantu meningkatkan transparansi, membangun kembali kepercayaan masyarakat memerlukan waktu dan komitmen pemerintah yang konsisten dalam menjalankan reformasi perpajakan.

Dalam konteks kebijakan, digitalisasi melalui Coretax juga harus disertai dengan penyederhanaan regulasi perpajakan. Saat ini, peraturan pajak di Indonesia dianggap terlalu kompleks, sehingga menyulitkan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya. Meskipun teknologi dapat menyederhanakan proses administrasi, kompleksitas regulasi tetap akan menjadi hambatan jika tidak diatasi. Untuk memastikan keberhasilan Coretax, pemerintah perlu mengintegrasikan reformasi teknologi dengan reformasi kebijakan yang lebih inklusif dan ramah pengguna.

Dengan segala potensi yang ditawarkan, Coretax hanya akan berhasil jika diiringi oleh upaya sistemik untuk mengatasi tantangan yang ada. Pemerintah perlu memastikan bahwa teknologi ini didukung oleh infrastruktur yang memadai, literasi digital masyarakat yang memadai, serta kebijakan yang mendorong inklusivitas. Tanpa langkah-langkah ini, penerapan Coretax berisiko menjadi inovasi yang hanya efektif di atas kertas, tanpa memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan penerimaan pajak secara nyata.

Apakah Target 1.500 Triliun Realistis?

Pencapaian target penerimaan pajak sebesar 1.500 triliun rupiah merupakan ambisi besar yang menunjukkan komitmen pemerintah dalam memperbaiki kinerja fiskal nasional. Namun, untuk mencapainya, diperlukan pertumbuhan penerimaan pajak yang jauh lebih signifikan dibandingkan tren sebelumnya. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), rata-rata pertumbuhan penerimaan pajak dalam lima tahun terakhir berkisar antara 10-12% per tahun. Jika pertumbuhan ini dapat dipertahankan, penerimaan pajak pada tahun 2025 diproyeksikan mencapai sekitar 1.430-1.450 triliun rupiah. Untuk mencapai angka 1.500 triliun, pertumbuhan tersebut harus meningkat secara substansial—mencapai tingkat yang belum pernah terjadi dalam sejarah perpajakan Indonesia.

Peningkatan penerimaan hingga 1.500 triliun rupiah akan sangat bergantung pada efektivitas Coretax sebagai alat digitalisasi perpajakan. Namun, target ini tidak hanya bertumpu pada teknologi, tetapi juga pada berbagai faktor pendukung yang mencakup kebijakan fiskal, kepatuhan wajib pajak, pengawasan, serta kesiapan infrastruktur teknologi di seluruh wilayah Indonesia.

Salah satu kunci keberhasilan untuk mencapai target tersebut adalah peningkatan tingkat kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan studi International Monetary Fund (IMF), tingkat kepatuhan yang tinggi dapat meningkatkan penerimaan pajak suatu negara hingga 30%. Di Indonesia, data DJP menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan formal wajib pajak pada tahun 2023 hanya mencapai sekitar 72%. Ini berarti bahwa ada ruang yang cukup besar untuk meningkatkan penerimaan pajak hanya dengan memastikan kepatuhan wajib pajak yang sudah ada. Coretax dapat memainkan peran penting dalam hal ini, terutama dengan kemampuannya untuk mendeteksi wajib pajak yang tidak patuh dan mendorong mereka untuk memenuhi kewajibannya. Namun, teknologi saja tidak cukup; harus ada kebijakan yang memberikan insentif bagi wajib pajak patuh, seperti pengurangan denda atau pengaturan pembayaran pajak yang lebih fleksibel.

Di sisi lain, pengawasan dan penegakan hukum juga menjadi elemen kritis. Digitalisasi melalui Coretax memungkinkan pemerintah memantau transaksi dan pelaporan pajak secara real-time. Namun, teknologi ini harus diimbangi dengan penegakan hukum yang konsisten dan transparan. Data dari Transparency International (2023) menunjukkan bahwa salah satu penyebab utama rendahnya tingkat kepatuhan pajak di Indonesia adalah kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi perpajakan. Tanpa pengawasan yang tegas terhadap pelanggaran pajak dan tindakan hukum yang transparan, sulit untuk membangun kepercayaan ini.

Selain itu, edukasi dan sosialisasi menjadi aspek yang tak kalah penting. Implementasi Coretax memerlukan pemahaman yang baik dari semua pihak, termasuk wajib pajak individu, pelaku usaha, hingga aparatur perpajakan. Dalam konteks Indonesia, di mana tingkat literasi digital masih beragam, edukasi menjadi tantangan tersendiri. Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (2023), hanya sekitar 20% masyarakat Indonesia yang memiliki kemampuan literasi digital tingkat lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak wajib pajak, terutama pelaku UMKM dan sektor informal, yang mungkin kesulitan untuk beradaptasi dengan sistem baru. Pemerintah perlu menyelenggarakan program edukasi dan pelatihan intensif yang menyasar kelompok-kelompok ini agar Coretax dapat diterapkan secara efektif.

Namun, salah satu tantangan terbesar dalam mencapai target 1.500 triliun rupiah adalah kesiapan infrastruktur teknologi. Coretax sangat bergantung pada ketersediaan internet yang stabil untuk mengelola data dan pelaporan secara real-time. Di Indonesia, kesenjangan infrastruktur teknologi antara daerah perkotaan dan pedesaan masih menjadi masalah serius. Berdasarkan laporan Speedtest Global Index (2024), kecepatan internet di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Di banyak daerah terpencil, koneksi internet bahkan tidak tersedia sama sekali, yang dapat menghambat penerapan Coretax secara merata. Pemerintah perlu mempercepat pembangunan infrastruktur telekomunikasi untuk memastikan semua wajib pajak dapat mengakses sistem ini.

Melihat kompleksitas tantangan yang ada, pencapaian target 1.500 triliun rupiah memang mungkin, tetapi membutuhkan upaya luar biasa dari berbagai pihak. Pemerintah harus memastikan bahwa Coretax bukan hanya sebuah inovasi teknologi, tetapi juga bagian dari reformasi perpajakan yang menyeluruh. Reformasi ini harus mencakup penyederhanaan regulasi, penguatan pengawasan, edukasi intensif, serta penyediaan infrastruktur yang memadai.

Target ini juga harus dipandang sebagai pendorong semangat untuk membangun sistem perpajakan yang lebih modern, inklusif, dan adil. Jika pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat dapat bersinergi, tidak hanya angka 1.500 triliun rupiah yang dapat dicapai, tetapi juga transformasi fundamental dalam sistem perpajakan Indonesia yang lebih transparan, efisien, dan terpercaya. Dengan begitu, Coretax bukan sekadar alat teknologi, tetapi simbol dari era baru reformasi perpajakan yang membawa manfaat nyata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kesimpulan

Apakah Coretax benar-benar mampu mencapai target penerimaan pajak sebesar 1.500 triliun rupiah? Jawaban atas pertanyaan ini sangat bergantung pada bagaimana Indonesia mengelola dan memanfaatkan berbagai elemen pendukung yang ada. Coretax menawarkan potensi besar untuk mentransformasi sistem perpajakan dengan menghadirkan efisiensi, transparansi, dan pengawasan berbasis teknologi modern. Namun, realisasi potensi ini bergantung pada kesiapan infrastruktur digital, tingkat kepatuhan wajib pajak, serta efektivitas pengawasan dan implementasi di lapangan.

Transformasi besar yang dijanjikan oleh Coretax tidak cukup hanya mengandalkan kecanggihan teknologi. Tanpa dukungan infrastruktur yang memadai, terutama di daerah terpencil, kehandalan sistem ini akan sulit dirasakan secara merata. Demikian pula, teknologi seperti big data dan kecerdasan buatan hanya akan efektif jika didukung dengan data yang berkualitas dan komprehensif. Dalam konteks Indonesia, di mana data ekonomi informal masih banyak yang belum terintegrasi, upaya serius harus dilakukan untuk meningkatkan dokumentasi dan pengelolaan data.

Tingkat kepatuhan wajib pajak juga menjadi faktor kunci dalam menentukan keberhasilan Coretax. Dengan tingkat kepatuhan formal yang saat ini hanya mencapai 72%, ada ruang besar untuk meningkatkan penerimaan pajak melalui kebijakan yang mendorong kepatuhan, seperti insentif bagi wajib pajak patuh dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggar. Namun, kepatuhan tidak hanya soal penegakan, melainkan juga tentang membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan. Coretax memiliki peluang untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, yang pada akhirnya dapat memperbaiki citra dan kepercayaan publik terhadap institusi perpajakan.

Implementasi Coretax juga membutuhkan edukasi dan sosialisasi yang masif. Sebagai sistem yang kompleks, Coretax memerlukan pemahaman yang baik dari semua pihak, terutama wajib pajak dari kalangan UMKM dan sektor informal. Tanpa edukasi yang memadai, banyak pelaku usaha mungkin kesulitan untuk beradaptasi dengan sistem baru ini, yang berisiko menurunkan kepatuhan dan efektivitas sistem.

Target 1.500 triliun rupiah adalah angka ambisius yang mencerminkan semangat untuk mereformasi sistem perpajakan Indonesia. Meskipun terlihat menantang, pencapaian angka tersebut bukanlah hal yang mustahil jika pemerintah mampu memastikan sinergi antara teknologi, regulasi, dan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan. Coretax hanya akan menjadi alat yang efektif jika didukung oleh komitmen politik, pengawasan yang ketat, dan partisipasi aktif dari masyarakat dan dunia usaha.

Tanpa upaya yang terkoordinasi, target ini berisiko menjadi sekadar mimpi di atas kertas. Namun, dengan persiapan yang matang, pembangunan infrastruktur yang memadai, serta reformasi kebijakan yang inklusif dan berorientasi pada keadilan, Coretax dapat menjadi simbol dari era baru perpajakan Indonesia—sebuah sistem yang modern, transparan, dan mampu mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Sumber Rujukan

Badan Pusat Statistik. (2023). Kontribusi sektor informal terhadap perekonomian Indonesia. Jakarta: BPS.

Direktorat Jenderal Pajak. (2023). Laporan tahunan 2023: Tingkat kepatuhan wajib pajak. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Economic Times. (2020). India’s GST revenue growth reaches 25% in three years. Retrieved from https://economictimes.indiatimes.com

International Monetary Fund. (2023). Improving tax compliance in developing economies. Washington, DC: IMF.

Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2023). Laporan literasi digital Indonesia 2023. Jakarta: Kominfo.

McKinsey & Company. (2021). The impact of big data on global tax systems: Trends and strategies. Retrieved from https://www.mckinsey.com

OECD. (2022). Tax transparency and big data: Opportunities for growth in developing countries. Paris: OECD Publishing.

Speedtest Global Index. (2024). Indonesia’s internet performance in comparison with ASEAN countries. Retrieved from https://www.speedtest.net

Transparency International. (2023). Corruption perception index: Indonesia 2023. Berlin: Transparency International.

Global Financial Integrity. (2022). Illicit financial flows and tax evasion in developing economies. Washington, DC: GFI.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun