Pendidikan doktoral dirancang untuk mencetak generasi intelektual yang mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap ilmu pengetahuan melalui penelitian orisinal dan mendalam. Mahasiswa doktoral, sebagai individu yang menempuh jenjang pendidikan tertinggi, diharapkan tidak hanya mampu memahami kompleksitas ilmu tetapi juga memiliki daya kritis yang tajam untuk menganalisis, memformulasi, dan mengembangkan ide-ide baru. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya fenomena krisis pemikiran kritis yang mengkhawatirkan di kalangan mahasiswa doktoral. Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah sistem pendidikan dan pembimbingan saat ini telah gagal mendorong pengembangan keterampilan berpikir kritis mahasiswa?
Studi empiris mendukung kekhawatiran ini. Penelitian yang dilakukan oleh International Journal of Doctoral Studies (2020) menemukan bahwa hanya 22% mahasiswa doktoral menunjukkan kemampuan berpikir kritis yang tinggi dalam konteks evaluasi teori dan pengembangan konsep baru. Sementara itu, mayoritas, yakni 58%, berada pada tingkat sedang, dan 20% sisanya menunjukkan tingkat rendah. Data ini menunjukkan bahwa meskipun mahasiswa doktoral secara teknis mampu menyelesaikan tugas-tugas penelitian, mereka sering kali gagal menampilkan kemampuan refleksi kritis yang mendalam.
Lebih lanjut, sebuah survei oleh Nature Career (2019) terhadap lebih dari 6.000 mahasiswa doktoral secara global mengungkapkan bahwa tekanan untuk menghasilkan publikasi sebagai ukuran keberhasilan akademik mengalihkan perhatian dari proses intelektual yang mendalam. Sebanyak 70% responden menyatakan bahwa mereka merasa terjebak dalam "budaya produktivitas" yang mendorong kuantitas publikasi, sementara hanya 30% yang merasa diberdayakan untuk mengeksplorasi ide-ide baru secara kritis. Hal ini mencerminkan tantangan sistemik dalam lingkungan akademik yang lebih berorientasi pada hasil administratif dibandingkan pengembangan keterampilan kognitif.
Pemikiran Kritis: Harapan vs. Realitas
Krisis pemikiran kritis ini tidak hanya menjadi persoalan akademik, tetapi juga berdampak pada kontribusi intelektual yang dihasilkan. Mahasiswa doktoral sering kali lebih fokus pada bagaimana menyelesaikan proyek penelitian mereka secara teknis daripada merenungkan relevansi atau dampak jangka panjang dari penelitian tersebut. Dalam forum akademik, dialog intelektual yang seharusnya menjadi sarana untuk mempertajam daya kritis justru sering kali bergeser menjadi sekadar validasi terhadap metode yang digunakan.
Penelitian oleh Sudirman et al. (2021) di Indonesia menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis mahasiswa pada jenjang pendidikan tinggi, termasuk program doktoral, cenderung masih lemah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 18% mahasiswa doktoral mampu menunjukkan kemampuan kritis yang tinggi, sementara 64% berada di tingkat sedang, dan 18% lainnya tergolong rendah. Penelitian ini menegaskan adanya tantangan sistemik dalam pengembangan keterampilan berpikir kritis di lingkungan akademik.
Pemikiran kritis merupakan salah satu pilar utama pendidikan doktoral yang memegang peran sentral dalam membentuk kualitas intelektual mahasiswa. Keterampilan ini tidak hanya menjadi alat penting untuk mengevaluasi informasi dan argumen secara objektif, tetapi juga menjadi dasar untuk menghasilkan solusi inovatif yang relevan dengan tantangan masa kini. Dalam pendidikan doktoral, mahasiswa dituntut untuk tidak hanya memahami konsep-konsep yang telah ada, tetapi juga mampu menantang, merevisi, dan mengembangkan konsep tersebut ke arah yang lebih maju. Tanpa kemampuan ini, mahasiswa doktoral hanya akan menjadi reproduktor pengetahuan yang ada, bukan inovator yang mampu menciptakan transformasi intelektual yang bermakna.
Namun, realitas akademik menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis sering kali belum berkembang optimal di kalangan mahasiswa doktoral. Sebuah penelitian oleh Garrison et al. (2018) yang dipublikasikan dalam Educational Researcher mencatat bahwa lebih dari separuh mahasiswa doktoral di Amerika Serikat cenderung fokus pada aspek teknis penelitian, seperti pengumpulan data dan penyusunan laporan, daripada mendalami isu-isu filosofis atau epistemologis yang mendasari penelitian mereka. Hal ini senada dengan survei global oleh Times Higher Education (2021), yang menemukan bahwa hanya 30% mahasiswa doktoral merasa percaya diri dalam mengevaluasi asumsi dasar dari teori yang mereka gunakan. Data ini menunjukkan adanya kesenjangan antara harapan terhadap kemampuan berpikir kritis mahasiswa doktoral dan realitas yang terjadi.
Kesenjangan ini tidak hanya terlihat di negara-negara maju tetapi juga di Indonesia. Penelitian oleh Sudirman et al. (2021) mencatat bahwa mayoritas mahasiswa doktoral di Indonesia memiliki tingkat kemampuan berpikir kritis yang sedang hingga rendah. Dalam penelitian ini, mahasiswa sering kali kesulitan menjelaskan alasan penggunaan metode tertentu dalam penelitian mereka atau bagaimana teori yang mereka pilih relevan dalam konteks yang lebih luas. Ketika dihadapkan dengan diskusi akademik, banyak mahasiswa merasa lebih nyaman dengan jawaban “benar atau salah” dibandingkan dengan mengeksplorasi kompleksitas dan nuansa yang ada dalam suatu isu.
Fenomena ini diperburuk oleh berbagai tekanan dalam lingkungan akademik, termasuk tekanan administratif dan target akademik yang berorientasi pada hasil. Mahasiswa doktoral sering kali didorong untuk menyelesaikan disertasi mereka dalam waktu sesingkat mungkin, disertai tuntutan untuk menghasilkan publikasi di jurnal internasional. Akibatnya, proses refleksi mendalam yang diperlukan untuk membangun kemampuan berpikir kritis sering kali diabaikan. Sebuah survei oleh Journal of Higher Education (2019) menunjukkan bahwa 65% mahasiswa doktoral merasa bahwa target administratif membatasi waktu mereka untuk melakukan eksplorasi intelektual secara mendalam. Lingkungan seperti ini menciptakan budaya akademik yang lebih berorientasi pada produktivitas kuantitatif daripada kualitas intelektual.
Pemikiran kritis pada dasarnya adalah keterampilan multidimensi yang melibatkan kemampuan untuk mengevaluasi asumsi, menghubungkan penelitian dengan konteks yang lebih luas, dan menganalisis bukti secara objektif. Menurut Paul dan Elder (2014), mahasiswa doktoral harus mampu mengidentifikasi asumsi yang mendasari teori atau pendekatan yang mereka gunakan, memastikan bahwa penelitian mereka tidak hanya mengulang argumen yang ada tetapi juga menawarkan perspektif baru. Selain itu, mahasiswa perlu menghubungkan penelitian mereka dengan tantangan global atau lokal sehingga hasil penelitian mereka menjadi lebih relevan dan aplikatif. Evaluasi bukti juga menjadi bagian penting dari pemikiran kritis, di mana mahasiswa harus mampu mempertimbangkan keterbatasan data dan metode yang digunakan dalam penelitian mereka.