Salah satu langkah yang paling efektif adalah mendorong diskusi dan refleksi mendalam di kalangan mahasiswa doktoral. Dosen perlu menciptakan lingkungan yang mendukung dialog kritis, di mana mahasiswa merasa nyaman untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dasar yang mendasari penelitian mereka. Menurut penelitian McAlpine dan Amundsen (2019), mahasiswa yang terlibat dalam dialog intelektual dengan pembimbing mereka cenderung memiliki kemampuan analisis yang lebih baik dan menunjukkan kreativitas yang lebih tinggi dalam pendekatan penelitian mereka. Alih-alih memberikan jawaban langsung, dosen dapat mengarahkan mahasiswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan reflektif seperti, "Apa yang mendasari teori ini?" atau "Bagaimana pendekatan ini dapat memberikan kontribusi unik terhadap disiplin ilmu Anda?"
Mengintegrasikan filsafat ilmu ke dalam kurikulum doktoral juga merupakan langkah strategis untuk membangun pemikiran kritis mahasiswa. Pemahaman tentang filsafat ilmu memungkinkan mahasiswa untuk melihat penelitian mereka dalam konteks epistemologis yang lebih luas, sehingga mereka tidak hanya mengejar hasil praktis tetapi juga memahami relevansi dan implikasi filosofis dari penelitian mereka. Studi oleh Bhaskar (2017) dalam Critical Realism and Education menyoroti bahwa penguasaan filsafat ilmu membantu mahasiswa untuk menilai kekuatan dan kelemahan pendekatan yang mereka gunakan serta mengidentifikasi kemungkinan pengembangan lebih lanjut.
Kebebasan akademik juga menjadi elemen penting dalam menghidupkan pemikiran kritis. Mahasiswa doktoral perlu diberikan ruang untuk mengeksplorasi ide-ide orisinal tanpa terlalu dibebani oleh target administratif yang sering kali membatasi waktu dan kreativitas mereka. Menurut survei global yang dilakukan oleh Nature Career (2019), mahasiswa yang diberikan kebebasan intelektual lebih cenderung menghasilkan kontribusi orisinal dalam penelitian mereka dibandingkan dengan mereka yang bekerja di bawah tekanan administratif yang ketat.
Selain itu, penting untuk mengurangi fokus yang berlebihan pada publikasi sebagai tolok ukur keberhasilan mahasiswa doktoral. Publikasi memang penting untuk membangun rekam jejak akademik, tetapi harus dilihat sebagai hasil sampingan dari proses pembelajaran intelektual yang kaya, bukan sebagai tujuan utama. Penelitian oleh Akerlind (2008) dalam Higher Education Research & Development menunjukkan bahwa mahasiswa yang lebih fokus pada kualitas daripada kuantitas publikasi sering kali menghasilkan karya yang lebih berdampak secara akademik dan praktis.
Dalam melaksanakan tanggung jawab ini, dosen juga perlu menyadari bahwa bimbingan akademik bukan hanya tentang menyelesaikan tugas administratif, tetapi juga tentang membangun hubungan intelektual yang bermakna dengan mahasiswa. Proses ini memerlukan komitmen dari dosen untuk tidak hanya menjadi penilai atau pengawas, tetapi juga mitra intelektual yang mendorong mahasiswa untuk terus berpikir kritis dan reflektif.
Dengan langkah-langkah ini, dosen dapat memainkan peran yang lebih proaktif dalam menghidupkan pemikiran kritis di kalangan mahasiswa doktoral. Bukan hanya untuk memastikan bahwa mahasiswa dapat menyelesaikan program doktoral mereka, tetapi juga untuk membantu mereka menjadi intelektual yang mampu memberikan kontribusi transformatif bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Mengembalikan Esensi Pemikiran Kritis
Krisis daya pemikiran kritis di kalangan mahasiswa doktoral merupakan peringatan yang tidak dapat diabaikan. Sebagai kelompok yang berada di puncak hierarki pendidikan, mahasiswa doktoral diharapkan menjadi penggerak utama dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, jika generasi intelektual tertinggi ini mulai kehilangan kemampuan untuk berpikir secara kritis, dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh individu tersebut, tetapi juga oleh kualitas ilmu pengetahuan dan inovasi di masa depan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk meninjau kembali tujuan mendasar dari pendidikan doktoral dan memastikan bahwa elemen pemikiran kritis menjadi inti dari proses ini.
Penelitian oleh Garrison et al. (2018) menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu indikator utama kesuksesan mahasiswa doktoral, baik dalam menyelesaikan program mereka maupun dalam memberikan kontribusi pada disiplin ilmu masing-masing. Namun, survei global oleh Nature Career (2019) menemukan bahwa 70% mahasiswa doktoral merasa lebih banyak terbebani oleh tekanan administratif dan tuntutan publikasi daripada fokus pada pengembangan kemampuan berpikir kritis mereka. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara harapan terhadap pendidikan doktoral dan realitas di lapangan.
Sebagai langkah awal, kita perlu merefleksikan kembali esensi pendidikan doktoral. Program doktoral tidak boleh hanya dilihat sebagai proses untuk menyelesaikan sebuah proyek penelitian yang memenuhi persyaratan administratif, tetapi juga sebagai perjalanan intelektual yang mendalam. Mahasiswa doktoral harus diberikan kesempatan untuk tidak hanya memahami dan mengaplikasikan teori yang ada, tetapi juga mempertanyakan, merevisi, dan mengembangkan teori tersebut menjadi sesuatu yang lebih relevan dan inovatif. Bhaskar (2017), dalam Critical Realism and Education, menegaskan bahwa pendidikan doktoral yang berfokus pada eksplorasi ide dan refleksi epistemologis cenderung menghasilkan intelektual yang mampu memecahkan masalah kompleks dengan pendekatan yang kreatif.
Lingkungan akademik yang mendukung pengembangan pemikiran kritis sangat penting untuk mengembalikan esensi pendidikan doktoral. Hal ini dapat dimulai dengan menciptakan ruang intelektual yang memungkinkan mahasiswa untuk bereksperimen dengan ide-ide mereka tanpa takut gagal. Penelitian oleh McAlpine dan Amundsen (2019) menemukan bahwa mahasiswa yang diberikan kebebasan intelektual lebih mungkin untuk menghasilkan penelitian yang inovatif dan berdampak. Oleh karena itu, dosen dan institusi harus mengurangi fokus pada target kuantitatif seperti jumlah publikasi dan lebih menekankan pada proses pembelajaran yang bermakna.