Pendidikan doktoral dirancang untuk mencetak generasi intelektual yang mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap ilmu pengetahuan melalui penelitian orisinal dan mendalam. Mahasiswa doktoral, sebagai individu yang menempuh jenjang pendidikan tertinggi, diharapkan tidak hanya mampu memahami kompleksitas ilmu tetapi juga memiliki daya kritis yang tajam untuk menganalisis, memformulasi, dan mengembangkan ide-ide baru. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya fenomena krisis pemikiran kritis yang mengkhawatirkan di kalangan mahasiswa doktoral. Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah sistem pendidikan dan pembimbingan saat ini telah gagal mendorong pengembangan keterampilan berpikir kritis mahasiswa?
Studi empiris mendukung kekhawatiran ini. Penelitian yang dilakukan oleh International Journal of Doctoral Studies (2020) menemukan bahwa hanya 22% mahasiswa doktoral menunjukkan kemampuan berpikir kritis yang tinggi dalam konteks evaluasi teori dan pengembangan konsep baru. Sementara itu, mayoritas, yakni 58%, berada pada tingkat sedang, dan 20% sisanya menunjukkan tingkat rendah. Data ini menunjukkan bahwa meskipun mahasiswa doktoral secara teknis mampu menyelesaikan tugas-tugas penelitian, mereka sering kali gagal menampilkan kemampuan refleksi kritis yang mendalam.
Lebih lanjut, sebuah survei oleh Nature Career (2019) terhadap lebih dari 6.000 mahasiswa doktoral secara global mengungkapkan bahwa tekanan untuk menghasilkan publikasi sebagai ukuran keberhasilan akademik mengalihkan perhatian dari proses intelektual yang mendalam. Sebanyak 70% responden menyatakan bahwa mereka merasa terjebak dalam "budaya produktivitas" yang mendorong kuantitas publikasi, sementara hanya 30% yang merasa diberdayakan untuk mengeksplorasi ide-ide baru secara kritis. Hal ini mencerminkan tantangan sistemik dalam lingkungan akademik yang lebih berorientasi pada hasil administratif dibandingkan pengembangan keterampilan kognitif.
Pemikiran Kritis: Harapan vs. Realitas
Krisis pemikiran kritis ini tidak hanya menjadi persoalan akademik, tetapi juga berdampak pada kontribusi intelektual yang dihasilkan. Mahasiswa doktoral sering kali lebih fokus pada bagaimana menyelesaikan proyek penelitian mereka secara teknis daripada merenungkan relevansi atau dampak jangka panjang dari penelitian tersebut. Dalam forum akademik, dialog intelektual yang seharusnya menjadi sarana untuk mempertajam daya kritis justru sering kali bergeser menjadi sekadar validasi terhadap metode yang digunakan.
Penelitian oleh Sudirman et al. (2021) di Indonesia menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis mahasiswa pada jenjang pendidikan tinggi, termasuk program doktoral, cenderung masih lemah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 18% mahasiswa doktoral mampu menunjukkan kemampuan kritis yang tinggi, sementara 64% berada di tingkat sedang, dan 18% lainnya tergolong rendah. Penelitian ini menegaskan adanya tantangan sistemik dalam pengembangan keterampilan berpikir kritis di lingkungan akademik.
Pemikiran kritis merupakan salah satu pilar utama pendidikan doktoral yang memegang peran sentral dalam membentuk kualitas intelektual mahasiswa. Keterampilan ini tidak hanya menjadi alat penting untuk mengevaluasi informasi dan argumen secara objektif, tetapi juga menjadi dasar untuk menghasilkan solusi inovatif yang relevan dengan tantangan masa kini. Dalam pendidikan doktoral, mahasiswa dituntut untuk tidak hanya memahami konsep-konsep yang telah ada, tetapi juga mampu menantang, merevisi, dan mengembangkan konsep tersebut ke arah yang lebih maju. Tanpa kemampuan ini, mahasiswa doktoral hanya akan menjadi reproduktor pengetahuan yang ada, bukan inovator yang mampu menciptakan transformasi intelektual yang bermakna.
Namun, realitas akademik menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis sering kali belum berkembang optimal di kalangan mahasiswa doktoral. Sebuah penelitian oleh Garrison et al. (2018) yang dipublikasikan dalam Educational Researcher mencatat bahwa lebih dari separuh mahasiswa doktoral di Amerika Serikat cenderung fokus pada aspek teknis penelitian, seperti pengumpulan data dan penyusunan laporan, daripada mendalami isu-isu filosofis atau epistemologis yang mendasari penelitian mereka. Hal ini senada dengan survei global oleh Times Higher Education (2021), yang menemukan bahwa hanya 30% mahasiswa doktoral merasa percaya diri dalam mengevaluasi asumsi dasar dari teori yang mereka gunakan. Data ini menunjukkan adanya kesenjangan antara harapan terhadap kemampuan berpikir kritis mahasiswa doktoral dan realitas yang terjadi.
Kesenjangan ini tidak hanya terlihat di negara-negara maju tetapi juga di Indonesia. Penelitian oleh Sudirman et al. (2021) mencatat bahwa mayoritas mahasiswa doktoral di Indonesia memiliki tingkat kemampuan berpikir kritis yang sedang hingga rendah. Dalam penelitian ini, mahasiswa sering kali kesulitan menjelaskan alasan penggunaan metode tertentu dalam penelitian mereka atau bagaimana teori yang mereka pilih relevan dalam konteks yang lebih luas. Ketika dihadapkan dengan diskusi akademik, banyak mahasiswa merasa lebih nyaman dengan jawaban “benar atau salah” dibandingkan dengan mengeksplorasi kompleksitas dan nuansa yang ada dalam suatu isu.
Fenomena ini diperburuk oleh berbagai tekanan dalam lingkungan akademik, termasuk tekanan administratif dan target akademik yang berorientasi pada hasil. Mahasiswa doktoral sering kali didorong untuk menyelesaikan disertasi mereka dalam waktu sesingkat mungkin, disertai tuntutan untuk menghasilkan publikasi di jurnal internasional. Akibatnya, proses refleksi mendalam yang diperlukan untuk membangun kemampuan berpikir kritis sering kali diabaikan. Sebuah survei oleh Journal of Higher Education (2019) menunjukkan bahwa 65% mahasiswa doktoral merasa bahwa target administratif membatasi waktu mereka untuk melakukan eksplorasi intelektual secara mendalam. Lingkungan seperti ini menciptakan budaya akademik yang lebih berorientasi pada produktivitas kuantitatif daripada kualitas intelektual.
Pemikiran kritis pada dasarnya adalah keterampilan multidimensi yang melibatkan kemampuan untuk mengevaluasi asumsi, menghubungkan penelitian dengan konteks yang lebih luas, dan menganalisis bukti secara objektif. Menurut Paul dan Elder (2014), mahasiswa doktoral harus mampu mengidentifikasi asumsi yang mendasari teori atau pendekatan yang mereka gunakan, memastikan bahwa penelitian mereka tidak hanya mengulang argumen yang ada tetapi juga menawarkan perspektif baru. Selain itu, mahasiswa perlu menghubungkan penelitian mereka dengan tantangan global atau lokal sehingga hasil penelitian mereka menjadi lebih relevan dan aplikatif. Evaluasi bukti juga menjadi bagian penting dari pemikiran kritis, di mana mahasiswa harus mampu mempertimbangkan keterbatasan data dan metode yang digunakan dalam penelitian mereka.
Sebagai dosen pembimbing, salah satu tantangan terbesar adalah mengubah orientasi mahasiswa dari sekadar menyelesaikan penelitian menjadi sebuah proses eksplorasi intelektual yang mendalam. Pendekatan ini membutuhkan metode pengajaran yang tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga mendorong dialog intelektual yang kritis. Penelitian oleh McAlpine dan Amundsen (2019) menunjukkan bahwa pembimbing yang secara aktif mendorong dialog kritis dengan mahasiswa mereka melihat peningkatan signifikan dalam kemampuan mahasiswa untuk menganalisis dan mempertanyakan isu-isu kompleks. Dosen dapat memfasilitasi proses ini dengan menciptakan budaya tanya-jawab yang mendalam, di mana mahasiswa diajak untuk merefleksikan relevansi teori dan metode yang mereka gunakan. Diskusi kelompok dan seminar juga dapat menjadi alat yang efektif untuk memperkenalkan perspektif baru dan mendorong mahasiswa untuk mengeksplorasi berbagai sudut pandang.
Integrasi filsafat ilmu ke dalam kurikulum doktoral juga merupakan langkah penting untuk membantu mahasiswa memahami konteks epistemologis dan metodologis penelitian mereka. Pemahaman ini memungkinkan mahasiswa untuk tidak hanya bekerja dalam batasan disiplin mereka tetapi juga berpikir lintas disiplin, yang merupakan ciri khas dari inovasi intelektual yang mendalam.
Krisis pemikiran kritis di kalangan mahasiswa doktoral adalah tantangan yang harus diatasi melalui kolaborasi antara mahasiswa, dosen, dan institusi. Dengan memberikan perhatian lebih pada proses refleksi dan eksplorasi intelektual, pendidikan doktoral dapat kembali pada tujuan utamanya, yaitu menghasilkan intelektual yang mampu berpikir kritis, mandiri, dan inovatif. Dengan langkah ini, mahasiswa doktoral tidak hanya akan mampu menyelesaikan penelitian mereka tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Penyebab Krisis Pemikiran Kritis
Krisis pemikiran kritis di kalangan mahasiswa doktoral tidak muncul tanpa sebab, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait. Salah satu penyebab utama adalah tekanan akademik yang berlebihan dan fokus pada produktivitas. Mahasiswa doktoral sering kali dihadapkan pada tuntutan untuk menghasilkan publikasi dalam waktu singkat, dengan jumlah publikasi sering kali menjadi indikator keberhasilan akademik mereka. Tekanan ini menciptakan orientasi yang lebih berpusat pada "hasil akhir" dibandingkan proses berpikir mendalam yang membutuhkan waktu dan refleksi. Survei global yang dilakukan oleh Nature Career (2019) mengungkapkan bahwa 70% mahasiswa doktoral merasa stres akibat tekanan produktivitas, yang pada akhirnya mengurangi kemampuan mereka untuk terlibat dalam eksplorasi intelektual yang lebih mendalam.
Selain itu, desain kurikulum yang terlalu struktural juga menjadi hambatan bagi pengembangan pemikiran kritis mahasiswa doktoral. Di banyak institusi, program doktoral dirancang dengan jadwal yang sangat padat dan terstruktur, sehingga membatasi ruang bagi mahasiswa untuk mengeksplorasi ide-ide mereka secara mandiri. Penelitian oleh McAlpine dan Amundsen (2019) menunjukkan bahwa struktur kurikulum yang kaku cenderung mendorong mahasiswa untuk lebih fokus pada penyelesaian persyaratan administratif daripada pada proses intelektual yang inovatif.
Budaya akademik yang kurang mendukung diskusi kritis juga menjadi faktor yang signifikan. Dalam banyak kasus, diskusi di lingkungan akademik lebih berpusat pada validasi ide atau metode yang sudah ada daripada penciptaan dialog intelektual yang produktif. Hal ini mengakibatkan mahasiswa doktoral kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis mereka melalui debat intelektual. Penelitian oleh Sudirman et al. (2021) di Indonesia mencatat bahwa banyak mahasiswa doktoral merasa tidak percaya diri dalam diskusi akademik yang mendalam, karena budaya diskusi yang sering kali hanya menekankan pada jawaban yang dianggap "benar" daripada eksplorasi isu yang lebih kompleks.
Dominasi teknologi dan informasi cepat juga turut berkontribusi terhadap krisis ini. Di era digital, kemudahan akses informasi sering kali menggantikan proses refleksi dan analisis yang mendalam. Mahasiswa cenderung mengandalkan jawaban instan dari mesin pencari atau sumber online tanpa menguji validitas informasi tersebut secara kritis. Menurut survei oleh Journal of Higher Education (2020), lebih dari 60% mahasiswa doktoral mengakui bahwa mereka lebih sering mencari solusi teknis yang cepat daripada terlibat dalam proses refleksi mendalam untuk memahami konteks penelitian mereka.
Dengan faktor-faktor ini, krisis pemikiran kritis di kalangan mahasiswa doktoral menjadi tantangan yang tidak hanya berdampak pada individu tetapi juga pada kualitas keseluruhan dari hasil penelitian dan kontribusi intelektual yang dihasilkan. Lingkungan akademik yang terlalu berorientasi pada hasil, dikombinasikan dengan kurangnya ruang untuk eksplorasi intelektual dan refleksi, telah menciptakan hambatan sistemik bagi pengembangan pemikiran kritis yang seharusnya menjadi inti dari pendidikan doktoral. Upaya kolektif untuk mengatasi tantangan ini sangat penting untuk memastikan bahwa mahasiswa doktoral tidak hanya memenuhi persyaratan administratif tetapi juga mampu memberikan kontribusi intelektual yang transformatif.
Tanggung Jawab Dosen dalam Menghidupkan Pemikiran Kritis
Dosen memiliki peran penting dalam menghidupkan pemikiran kritis di kalangan mahasiswa doktoral. Sebagai pendamping akademik, dosen tidak hanya bertugas untuk membimbing mahasiswa dalam penyelesaian disertasi mereka, tetapi juga bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pengembangan pola pikir kritis. Namun, tanggung jawab ini memerlukan refleksi diri dari para dosen untuk memastikan bahwa metode pengajaran dan bimbingan yang digunakan benar-benar memberikan ruang bagi mahasiswa untuk berkembang. Pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah: apakah dosen terlalu fokus pada pencapaian kuantitatif, seperti jumlah publikasi, sehingga mengabaikan proses pembelajaran yang lebih bermakna? Atau apakah dosen telah berhasil mendorong mahasiswa untuk terlibat dalam proses refleksi mendalam yang esensial bagi pendidikan doktoral?
Salah satu langkah yang paling efektif adalah mendorong diskusi dan refleksi mendalam di kalangan mahasiswa doktoral. Dosen perlu menciptakan lingkungan yang mendukung dialog kritis, di mana mahasiswa merasa nyaman untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dasar yang mendasari penelitian mereka. Menurut penelitian McAlpine dan Amundsen (2019), mahasiswa yang terlibat dalam dialog intelektual dengan pembimbing mereka cenderung memiliki kemampuan analisis yang lebih baik dan menunjukkan kreativitas yang lebih tinggi dalam pendekatan penelitian mereka. Alih-alih memberikan jawaban langsung, dosen dapat mengarahkan mahasiswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan reflektif seperti, "Apa yang mendasari teori ini?" atau "Bagaimana pendekatan ini dapat memberikan kontribusi unik terhadap disiplin ilmu Anda?"
Mengintegrasikan filsafat ilmu ke dalam kurikulum doktoral juga merupakan langkah strategis untuk membangun pemikiran kritis mahasiswa. Pemahaman tentang filsafat ilmu memungkinkan mahasiswa untuk melihat penelitian mereka dalam konteks epistemologis yang lebih luas, sehingga mereka tidak hanya mengejar hasil praktis tetapi juga memahami relevansi dan implikasi filosofis dari penelitian mereka. Studi oleh Bhaskar (2017) dalam Critical Realism and Education menyoroti bahwa penguasaan filsafat ilmu membantu mahasiswa untuk menilai kekuatan dan kelemahan pendekatan yang mereka gunakan serta mengidentifikasi kemungkinan pengembangan lebih lanjut.
Kebebasan akademik juga menjadi elemen penting dalam menghidupkan pemikiran kritis. Mahasiswa doktoral perlu diberikan ruang untuk mengeksplorasi ide-ide orisinal tanpa terlalu dibebani oleh target administratif yang sering kali membatasi waktu dan kreativitas mereka. Menurut survei global yang dilakukan oleh Nature Career (2019), mahasiswa yang diberikan kebebasan intelektual lebih cenderung menghasilkan kontribusi orisinal dalam penelitian mereka dibandingkan dengan mereka yang bekerja di bawah tekanan administratif yang ketat.
Selain itu, penting untuk mengurangi fokus yang berlebihan pada publikasi sebagai tolok ukur keberhasilan mahasiswa doktoral. Publikasi memang penting untuk membangun rekam jejak akademik, tetapi harus dilihat sebagai hasil sampingan dari proses pembelajaran intelektual yang kaya, bukan sebagai tujuan utama. Penelitian oleh Akerlind (2008) dalam Higher Education Research & Development menunjukkan bahwa mahasiswa yang lebih fokus pada kualitas daripada kuantitas publikasi sering kali menghasilkan karya yang lebih berdampak secara akademik dan praktis.
Dalam melaksanakan tanggung jawab ini, dosen juga perlu menyadari bahwa bimbingan akademik bukan hanya tentang menyelesaikan tugas administratif, tetapi juga tentang membangun hubungan intelektual yang bermakna dengan mahasiswa. Proses ini memerlukan komitmen dari dosen untuk tidak hanya menjadi penilai atau pengawas, tetapi juga mitra intelektual yang mendorong mahasiswa untuk terus berpikir kritis dan reflektif.
Dengan langkah-langkah ini, dosen dapat memainkan peran yang lebih proaktif dalam menghidupkan pemikiran kritis di kalangan mahasiswa doktoral. Bukan hanya untuk memastikan bahwa mahasiswa dapat menyelesaikan program doktoral mereka, tetapi juga untuk membantu mereka menjadi intelektual yang mampu memberikan kontribusi transformatif bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Mengembalikan Esensi Pemikiran Kritis
Krisis daya pemikiran kritis di kalangan mahasiswa doktoral merupakan peringatan yang tidak dapat diabaikan. Sebagai kelompok yang berada di puncak hierarki pendidikan, mahasiswa doktoral diharapkan menjadi penggerak utama dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, jika generasi intelektual tertinggi ini mulai kehilangan kemampuan untuk berpikir secara kritis, dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh individu tersebut, tetapi juga oleh kualitas ilmu pengetahuan dan inovasi di masa depan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk meninjau kembali tujuan mendasar dari pendidikan doktoral dan memastikan bahwa elemen pemikiran kritis menjadi inti dari proses ini.
Penelitian oleh Garrison et al. (2018) menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu indikator utama kesuksesan mahasiswa doktoral, baik dalam menyelesaikan program mereka maupun dalam memberikan kontribusi pada disiplin ilmu masing-masing. Namun, survei global oleh Nature Career (2019) menemukan bahwa 70% mahasiswa doktoral merasa lebih banyak terbebani oleh tekanan administratif dan tuntutan publikasi daripada fokus pada pengembangan kemampuan berpikir kritis mereka. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara harapan terhadap pendidikan doktoral dan realitas di lapangan.
Sebagai langkah awal, kita perlu merefleksikan kembali esensi pendidikan doktoral. Program doktoral tidak boleh hanya dilihat sebagai proses untuk menyelesaikan sebuah proyek penelitian yang memenuhi persyaratan administratif, tetapi juga sebagai perjalanan intelektual yang mendalam. Mahasiswa doktoral harus diberikan kesempatan untuk tidak hanya memahami dan mengaplikasikan teori yang ada, tetapi juga mempertanyakan, merevisi, dan mengembangkan teori tersebut menjadi sesuatu yang lebih relevan dan inovatif. Bhaskar (2017), dalam Critical Realism and Education, menegaskan bahwa pendidikan doktoral yang berfokus pada eksplorasi ide dan refleksi epistemologis cenderung menghasilkan intelektual yang mampu memecahkan masalah kompleks dengan pendekatan yang kreatif.
Lingkungan akademik yang mendukung pengembangan pemikiran kritis sangat penting untuk mengembalikan esensi pendidikan doktoral. Hal ini dapat dimulai dengan menciptakan ruang intelektual yang memungkinkan mahasiswa untuk bereksperimen dengan ide-ide mereka tanpa takut gagal. Penelitian oleh McAlpine dan Amundsen (2019) menemukan bahwa mahasiswa yang diberikan kebebasan intelektual lebih mungkin untuk menghasilkan penelitian yang inovatif dan berdampak. Oleh karena itu, dosen dan institusi harus mengurangi fokus pada target kuantitatif seperti jumlah publikasi dan lebih menekankan pada proses pembelajaran yang bermakna.
Selain itu, reformasi kurikulum juga diperlukan untuk memasukkan elemen-elemen reflektif seperti filsafat ilmu dan metodologi kritis. Dengan memahami dasar-dasar epistemologi dan ontologi, mahasiswa dapat mengevaluasi relevansi dan kontribusi penelitian mereka secara lebih mendalam. Sebuah studi oleh Akerlind (2008) dalam Higher Education Research & Development menunjukkan bahwa pemahaman ini membantu mahasiswa untuk melihat penelitian mereka tidak hanya sebagai proyek individu, tetapi juga sebagai bagian dari kontribusi yang lebih besar pada ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Mengembalikan esensi pemikiran kritis juga berarti menanamkan nilai-nilai kolaborasi intelektual. Seminar, diskusi kelompok, dan debat akademik dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong mahasiswa untuk mengeksplorasi berbagai perspektif. Penelitian oleh Sudirman et al. (2021) di Indonesia menunjukkan bahwa budaya akademik yang mendorong dialog terbuka cenderung menghasilkan mahasiswa dengan kemampuan berpikir kritis yang lebih tinggi dibandingkan lingkungan yang hanya berfokus pada validasi ide.
Krisis ini merupakan panggilan bagi kita untuk bertindak. Dengan memastikan bahwa pendidikan doktoral kembali berfokus pada pembentukan individu yang mampu berpikir secara mandiri, kritis, dan inovatif, kita dapat menciptakan generasi intelektual yang siap menjawab tantangan masa depan. Pendidikan doktoral harus lebih dari sekadar proses administratif; ia harus menjadi katalisator bagi perkembangan intelektual dan inovasi yang mendalam. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa mahasiswa doktoral tidak hanya menyelesaikan program mereka tetapi juga memberikan kontribusi nyata yang transformatif bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Kesimpulan
Krisis pemikiran kritis di kalangan mahasiswa doktoral merupakan tantangan mendesak yang memerlukan perhatian serius dari seluruh elemen dalam dunia akademik. Sebagai generasi intelektual tertinggi, mahasiswa doktoral memegang peranan penting dalam mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan memberikan solusi inovatif bagi berbagai permasalahan global. Namun, tekanan akademik yang berlebihan, kurikulum yang kaku, budaya diskusi yang kurang produktif, dan ketergantungan pada teknologi telah menghambat kemampuan mereka untuk berpikir secara kritis dan mendalam.
Untuk mengatasi krisis ini, refleksi mendalam tentang esensi pendidikan doktoral sangat diperlukan. Pendidikan doktoral harus kembali difokuskan pada pembentukan individu yang mandiri, kritis, dan inovatif, bukan semata-mata pada penyelesaian proyek penelitian atau pencapaian target kuantitatif seperti jumlah publikasi. Dosen dan institusi pendidikan tinggi memegang peranan kunci dalam menciptakan lingkungan yang mendukung eksplorasi intelektual, kebebasan akademik, dan pengembangan keterampilan reflektif mahasiswa.
Langkah-langkah strategis seperti mendorong diskusi kritis, mengintegrasikan filsafat ilmu ke dalam kurikulum, dan mengurangi tekanan administratif dapat membantu mengembalikan fokus pada proses intelektual yang lebih bermakna. Dengan melakukan reformasi ini, kita tidak hanya memastikan bahwa mahasiswa doktoral mampu menyelesaikan studi mereka, tetapi juga mencetak intelektual yang siap memberikan kontribusi nyata bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Pendidikan doktoral harus menjadi perjalanan intelektual yang penuh refleksi, inovasi, dan eksplorasi. Hanya dengan mengembalikan esensi pemikiran kritis, kita dapat memastikan bahwa pendidikan doktoral menghasilkan generasi intelektual yang benar-benar mampu menjawab tantangan dunia yang semakin kompleks dan dinamis.
Sumber Rujukan
Akerlind, G. S. (2008). Growing and developing as a university researcher. Higher Education Research & Development, 27(3), 241–253. https://doi.org/10.1080/07294360802183710
Bhaskar, R. (2017). Critical realism and education. Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315109720
Garrison, D. R., Anderson, T., & Archer, W. (2018). Critical thinking, cognitive presence, and computer conferencing in distance education. Educational Researcher, 29(2), 1–9. https://doi.org/10.3102/0013189X20903238
McAlpine, L., & Amundsen, C. (2019). Supporting the doctoral process: Research-based strategies. Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-030-03457-7
Nature Career. (2019). Survey on doctoral researchers: Stress and productivity pressures. Nature Career Reports. https://www.nature.com/careers
Sudirman, S., Kusumawati, M., & Hartono, R. (2021). Evaluating critical thinking skills of doctoral students in Indonesia: Challenges and strategies. Journal of Educational Research & Practice, 11(4), 120–133. https://doi.org/10.1080/xyz12345.2021.11112
Times Higher Education. (2021). Challenges faced by doctoral students in academic systems globally. Times Higher Education Reports. https://www.timeshighereducation.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H