Selain itu, reformasi kurikulum juga diperlukan untuk memasukkan elemen-elemen reflektif seperti filsafat ilmu dan metodologi kritis. Dengan memahami dasar-dasar epistemologi dan ontologi, mahasiswa dapat mengevaluasi relevansi dan kontribusi penelitian mereka secara lebih mendalam. Sebuah studi oleh Akerlind (2008) dalam Higher Education Research & Development menunjukkan bahwa pemahaman ini membantu mahasiswa untuk melihat penelitian mereka tidak hanya sebagai proyek individu, tetapi juga sebagai bagian dari kontribusi yang lebih besar pada ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Mengembalikan esensi pemikiran kritis juga berarti menanamkan nilai-nilai kolaborasi intelektual. Seminar, diskusi kelompok, dan debat akademik dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong mahasiswa untuk mengeksplorasi berbagai perspektif. Penelitian oleh Sudirman et al. (2021) di Indonesia menunjukkan bahwa budaya akademik yang mendorong dialog terbuka cenderung menghasilkan mahasiswa dengan kemampuan berpikir kritis yang lebih tinggi dibandingkan lingkungan yang hanya berfokus pada validasi ide.
Krisis ini merupakan panggilan bagi kita untuk bertindak. Dengan memastikan bahwa pendidikan doktoral kembali berfokus pada pembentukan individu yang mampu berpikir secara mandiri, kritis, dan inovatif, kita dapat menciptakan generasi intelektual yang siap menjawab tantangan masa depan. Pendidikan doktoral harus lebih dari sekadar proses administratif; ia harus menjadi katalisator bagi perkembangan intelektual dan inovasi yang mendalam. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa mahasiswa doktoral tidak hanya menyelesaikan program mereka tetapi juga memberikan kontribusi nyata yang transformatif bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Kesimpulan
Krisis pemikiran kritis di kalangan mahasiswa doktoral merupakan tantangan mendesak yang memerlukan perhatian serius dari seluruh elemen dalam dunia akademik. Sebagai generasi intelektual tertinggi, mahasiswa doktoral memegang peranan penting dalam mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan memberikan solusi inovatif bagi berbagai permasalahan global. Namun, tekanan akademik yang berlebihan, kurikulum yang kaku, budaya diskusi yang kurang produktif, dan ketergantungan pada teknologi telah menghambat kemampuan mereka untuk berpikir secara kritis dan mendalam.
Untuk mengatasi krisis ini, refleksi mendalam tentang esensi pendidikan doktoral sangat diperlukan. Pendidikan doktoral harus kembali difokuskan pada pembentukan individu yang mandiri, kritis, dan inovatif, bukan semata-mata pada penyelesaian proyek penelitian atau pencapaian target kuantitatif seperti jumlah publikasi. Dosen dan institusi pendidikan tinggi memegang peranan kunci dalam menciptakan lingkungan yang mendukung eksplorasi intelektual, kebebasan akademik, dan pengembangan keterampilan reflektif mahasiswa.
Langkah-langkah strategis seperti mendorong diskusi kritis, mengintegrasikan filsafat ilmu ke dalam kurikulum, dan mengurangi tekanan administratif dapat membantu mengembalikan fokus pada proses intelektual yang lebih bermakna. Dengan melakukan reformasi ini, kita tidak hanya memastikan bahwa mahasiswa doktoral mampu menyelesaikan studi mereka, tetapi juga mencetak intelektual yang siap memberikan kontribusi nyata bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Pendidikan doktoral harus menjadi perjalanan intelektual yang penuh refleksi, inovasi, dan eksplorasi. Hanya dengan mengembalikan esensi pemikiran kritis, kita dapat memastikan bahwa pendidikan doktoral menghasilkan generasi intelektual yang benar-benar mampu menjawab tantangan dunia yang semakin kompleks dan dinamis.
Sumber Rujukan
Akerlind, G. S. (2008). Growing and developing as a university researcher. Higher Education Research & Development, 27(3), 241–253. https://doi.org/10.1080/07294360802183710
Bhaskar, R. (2017). Critical realism and education. Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315109720