Setiap generasi memiliki karakteristik, tantangan, dan keistimewaannya masing-masing, tidak terkecuali Generasi Z, atau yang sering disebut sebagai Gen Z. Generasi ini mencakup individu yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, sebuah rentang waktu yang menempatkan mereka dalam era perkembangan teknologi dan digitalisasi yang pesat.Â
Menurut data dari Pusat Studi Kebijakan Pendidikan (PSKP) Kemdikbud, Gen Z di Indonesia mencakup sekitar 27,94% dari total populasi, menjadikan mereka kelompok demografis terbesar di negeri ini.
Sebagai generasi yang tumbuh dengan akses ke internet, media sosial, dan teknologi canggih sejak usia dini, Gen Z menjadi simbol modernitas dan inovasi. Namun, di balik citra tersebut, mereka menghadapi tantangan kompleks dalam menyelaraskan antara tuntutan dunia nyata yang serba terstruktur dengan impian besar yang sering kali tidak terikat oleh batasan konvensional.
 Kehidupan mereka menjadi cerminan dari dinamika zaman: penuh peluang, tetapi juga dipenuhi tekanan untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial dan ekonomi.
Tumbuh di era digital yang serba cepat memberikan mereka banyak keunggulan dalam adaptasi teknologi dan informasi. Namun, tantangan yang mereka hadapi bukanlah hal yang sederhana. Menemukan keseimbangan antara keteraturan hidup yang diharapkan oleh masyarakat dan mengejar aspirasi pribadi menjadi dilema yang terus-menerus mereka hadapi. Bagaimana generasi ini menjawab tantangan tersebut akan menentukan kontribusi mereka bagi masa depan bangsa dan dunia.
Keteraturan dalam Dunia yang Berubah Cepat
Tekanan untuk mencapai stabilitas melalui jalur tradisional seperti pendidikan formal dan pekerjaan tetap tetap menjadi norma di masyarakat. Orang tua dan masyarakat sering kali mendorong generasi muda, termasuk Gen Z, untuk mengikuti pola hidup yang sudah terbukti membawa stabilitas bagi generasi sebelumnya.Â
Namun, tantangan zaman telah mengubah dinamika ini, membuat jalur tradisional tidak selalu relevan atau memadai untuk menjamin kesuksesan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 9,9 juta pemuda Indonesia berusia 15 hingga 24 tahun—sekitar 22,25% dari kelompok usia tersebut—tergolong dalam kategori NEET (Not in Employment, Education, or Training). Mereka adalah kelompok yang tidak bekerja, tidak bersekolah, dan tidak mengikuti pelatihan apa pun, yang menggambarkan kegagalan sistem tradisional dalam memenuhi kebutuhan mereka.Â
Angka ini menunjukkan bahwa hampir satu dari empat pemuda Indonesia tidak terlibat dalam kegiatan produktif, sebuah ironi di tengah upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk mendukung pembangunan negara.