Menurut laporan McKinsey Global Institute, 60% pekerja di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, membutuhkan pelatihan ulang keterampilan (reskilling) agar tetap relevan di dunia kerja yang berubah cepat akibat otomatisasi dan digitalisasi.
Selain itu, keterbatasan akses terhadap pelatihan dan pendidikan berkualitas memperparah situasi ini, terutama bagi mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi rendah. Keterbatasan ini bukan hanya soal akses fisik, tetapi juga mencakup kesenjangan digital.Â
Berdasarkan laporan World Bank pada tahun 2022, hanya sekitar 58% rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses internet yang memadai, sehingga membatasi peluang Gen Z untuk mengakses sumber daya pembelajaran dan pelatihan secara online.
Angka-angka ini memperkuat argumen bahwa pendekatan konvensional terhadap stabilitas sudah tidak memadai dalam menghadapi tantangan zaman. Diperlukan inovasi dalam sistem pendidikan, pelatihan vokasi, dan kebijakan ketenagakerjaan untuk memberikan Gen Z peluang yang lebih baik. Tanpa perubahan ini, ketidaksesuaian antara keterampilan dan kebutuhan pasar kerja akan terus memperburuk angka NEET, menambah beban sosial dan ekonomi bagi negara di masa mendatang.
Impian yang Terbentur Realitas
Gen Z dikenal sebagai generasi yang penuh dengan idealisme, ambisi, dan mimpi besar. Sebagai digital natives, mereka tumbuh dengan berbagai inspirasi global yang membentuk keinginan mereka untuk menjadi inovator, pengusaha, atau aktivis yang berdampak. Namun, meskipun potensi dan cita-cita mereka besar, banyak dari mereka yang harus menghadapi kenyataan pahit: realitas ekonomi dan sosial yang sering kali tidak mendukung pencapaian impian mereka.
Salah satu hambatan utama adalah ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki oleh Gen Z dan kebutuhan nyata di pasar kerja. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, dalam salah satu pernyataannya, mengakui bahwa banyak Gen Z yang menganggur karena ketidaksesuaian ini. Hal ini tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 yang mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia sebesar 7,88% pada kelompok usia 15-24 tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional sebesar 5,45%.
Ketidaksesuaian ini sering kali berakar pada sistem pendidikan yang masih berorientasi pada teori dan kurang memberikan keterampilan praktis yang dibutuhkan di dunia kerja. Sebuah survei oleh McKinsey pada tahun 2021 menemukan bahwa 40% pengusaha di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mengidentifikasi kesenjangan keterampilan sebagai tantangan besar dalam merekrut tenaga kerja muda.Â
Hal ini diperburuk oleh perubahan cepat dalam teknologi dan ekonomi global, yang menciptakan permintaan tinggi terhadap keterampilan di bidang digital, seperti coding, analisis data, dan pemasaran digital—area yang sering kali belum terakomodasi dalam kurikulum pendidikan formal.
Di sisi lain, realitas ekonomi seperti tingginya biaya hidup dan ketidakpastian pekerjaan menambah tekanan bagi Gen Z untuk segera mencapai stabilitas finansial. Banyak dari mereka yang merasa perlu mengambil pekerjaan di luar bidang yang mereka minati untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga menghambat mereka dalam mengejar impian. Hal ini diperparah oleh dampak pandemi COVID-19, yang telah mengubah lanskap ketenagakerjaan secara drastis, menciptakan lebih banyak pekerjaan yang bersifat sementara atau informal, yang sering kali tidak memberikan keamanan finansial jangka panjang.
Selain faktor ekonomi, tekanan sosial juga menjadi penghalang. Dalam budaya yang masih mengutamakan kesuksesan konvensional seperti memiliki pekerjaan tetap dan gelar pendidikan tinggi, mereka yang memilih jalur berbeda sering kali menghadapi stigma. Hal ini dapat mengurangi motivasi dan membuat mereka merasa terisolasi dalam mengejar impian yang mungkin dianggap tidak realistis oleh masyarakat.