Tantangan yang Dihadapi Indonesia
1. Ketegangan Geopolitik
Dinamika geopolitik internasional menjadi tantangan utama bagi Indonesia dalam peran barunya sebagai anggota BRICKS. Ketegangan antara Rusia dan Tiongkok dengan negara-negara Barat terkait isu-isu seperti perang di Ukraina dan klaim atas Taiwan menciptakan polarisasi yang signifikan dalam komunitas internasional. Indonesia, yang menganut prinsip politik luar negeri bebas aktif, harus memastikan posisinya tetap netral, terutama dalam konteks hubungan perdagangan dan diplomasi yang erat dengan kedua kubu.
Menurut pakar hubungan internasional Universitas Indonesia (Zon, 2023), posisi Indonesia yang strategis di antara negara-negara besar dapat menjadi peluang jika dikelola dengan baik, tetapi juga berisiko jika Indonesia gagal menjaga keseimbangan diplomasi. "Indonesia harus memastikan bahwa keanggotaan dalam BRICKS tidak menimbulkan persepsi keberpihakan yang dapat merusak hubungan dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa," jelasnya.
Laporan Institut Studi Internasional (ISI, 2022) menyoroti bahwa konflik geopolitik di antara negara-negara BRICS dan Barat telah menimbulkan ketidakpastian di pasar global, termasuk bagi negara-negara yang memiliki ketergantungan perdagangan tinggi dengan kedua pihak. Sebagai contoh, Indonesia memiliki hubungan dagang strategis dengan Tiongkok (mitra ekspor terbesar) sekaligus Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pada 2022, nilai perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat mencapai USD 37 miliar (Badan Pusat Statistik, 2023), sementara perdagangan dengan Uni Eropa tercatat USD 33,3 miliar. Ketegangan antara dua kubu ini dapat mengganggu kestabilan ekspor Indonesia jika terjadi eskalasi konflik lebih lanjut.
Untuk menghindari dampak negatif dari konflik ini, Indonesia harus mengambil langkah proaktif melalui diplomasi ekonomi multilateral yang mengedepankan netralitas. Sebagai contoh, dalam peran barunya di BRICKS, Indonesia dapat mendorong agenda yang berfokus pada pembangunan ekonomi dan pengurangan ketergantungan geopolitik, daripada mengambil sikap politik yang tajam terhadap pihak mana pun.
2. Ketimpangan Ekonomi Antar Anggota
BRICKS terdiri dari negara-negara dengan tingkat perkembangan ekonomi yang sangat beragam, di mana Tiongkok dan India menjadi kekuatan dominan dengan PDB masing-masing mencapai USD 18 triliun dan USD 3,7 triliun pada 2023 (IMF, 2023). Sebaliknya, Brasil, Rusia, Afrika Selatan, dan Indonesia memiliki PDB yang lebih kecil, dengan Indonesia berada di angka USD 1,3 triliun. Ketimpangan ini menciptakan tantangan bagi Indonesia dalam memastikan bahwa kepentingannya tidak terpinggirkan di tengah dominasi ekonomi oleh negara-negara besar.
Studi oleh Bank Pembangunan Asia (ADB, 2023) menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi dapat memengaruhi pola kerja sama dalam BRICKS, di mana negara-negara kecil lebih cenderung berfungsi sebagai pasar konsumen bagi negara-negara besar seperti Tiongkok. Contohnya, dalam hubungan perdagangan antara Indonesia dan Tiongkok, meskipun nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok signifikan, impor dari Tiongkok jauh lebih besar, terutama dalam kategori barang manufaktur dan teknologi tinggi. Pada 2022, nilai impor Indonesia dari Tiongkok mencapai USD 60,7 miliar, yang jauh melampaui ekspor Indonesia ke negara tersebut (Badan Pusat Statistik, 2023).
Ketergantungan ini menunjukkan bahwa Indonesia berisiko menjadi pasar produk teknologi negara-negara besar BRICKS tanpa mendapatkan manfaat yang seimbang dalam bentuk transfer teknologi atau pengembangan kapasitas domestik. Untuk mengatasi tantangan ini, Indonesia perlu memprioritaskan perjanjian kerja sama yang lebih simetris dalam BRICKS, seperti akses yang lebih luas terhadap teknologi dan peningkatan investasi langsung di sektor industri strategis.
3. Kesiapan Domestik