Pendahuluan
Virtual tourism marketing atau pemasaran pariwisata virtual menjadi semakin populer di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, terutama saat pandemi COVID-19 yang menghambat perjalanan fisik. Selama masa pandemi, wisata virtual menjadi solusi bagi sektor pariwisata yang terkena dampak pembatasan sosial, dengan tujuan menjaga daya tarik destinasi wisata di mata publik. Teknologi seperti video 360 derajat, augmented reality (AR), dan virtual reality (VR) mulai diterapkan oleh berbagai destinasi di Indonesia, termasuk tempat-tempat bersejarah, museum, dan taman nasional, untuk memberikan pengalaman wisata yang imersif bagi wisatawan dalam negeri maupun mancanegara.
Contoh konkret penerapan pariwisata virtual di Indonesia dapat dilihat pada Borobudur, Prambanan, dan berbagai situs bersejarah lainnya. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) berkolaborasi dengan platform digital untuk menghadirkan tur virtual dari situs-situs ini, memungkinkan wisatawan untuk "mengunjungi" Borobudur dan Prambanan secara virtual dari rumah mereka. Laporan dari Kemenparekraf (2022) menyatakan bahwa lebih dari 100 ribu orang mengikuti tur virtual ke Borobudur selama pandemi, yang membantu menjaga minat publik pada destinasi ini dan mendukung industri pariwisata yang sedang terpuruk.
Selain itu, pariwisata virtual juga diterapkan pada beberapa taman nasional di Indonesia, seperti Taman Nasional Komodo dan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Dengan menghadirkan tur virtual, para pengunjung dapat menikmati pemandangan alam Indonesia tanpa harus mengganggu lingkungan atau menambah tekanan pada ekosistem yang sensitif. Inisiatif ini juga diharapkan dapat menarik minat wisatawan internasional untuk kembali berkunjung secara langsung ketika situasi memungkinkan.
Namun, setelah pandemi berakhir, relevansi wisata virtual di Indonesia mulai dipertanyakan. Wisatawan lokal dan mancanegara yang sebelumnya menikmati tur virtual kini kembali memilih perjalanan fisik untuk merasakan langsung keindahan destinasi. Meski demikian, wisata virtual masih memiliki peran penting dalam meningkatkan aksesibilitas ke destinasi yang sulit dijangkau atau yang ingin dikunjungi sebagai riset awal. Kemenparekraf (2023) juga menyebutkan bahwa pariwisata virtual dapat menjadi alat promosi efektif untuk destinasi yang kurang dikenal atau yang membutuhkan perlindungan khusus, seperti Taman Nasional Way Kambas di Sumatra.
Dengan mempertimbangkan potensi, tantangan, dan relevansinya di era pasca-pandemi, artikel ini akan mengulas bagaimana wisata virtual masih memiliki peran dalam strategi pemasaran pariwisata di Indonesia. Pengalaman Indonesia dalam memanfaatkan teknologi virtual untuk menjaga daya tarik destinasi wisata menunjukkan bagaimana pariwisata virtual dapat tetap menjadi alat yang relevan, terutama dalam memperkenalkan tempat-tempat yang belum terkenal di kancah internasional dan mendukung pariwisata berkelanjutan.
Era Pandemi dan Kebangkitan Wisata Virtual
Pandemi COVID-19 menjadi titik balik bagi pariwisata virtual, mendorong wisatawan yang tidak bisa melakukan perjalanan fisik untuk menggunakan alternatif virtual. Berdasarkan penelitian oleh GlobalData (2021), selama pandemi, 57% wisatawan di dunia mencari pengalaman pariwisata virtual untuk "melarikan diri" dari kebosanan dan tetap terhubung dengan dunia luar. Teknologi video 360 derajat dan VR memberikan pengalaman yang imersif, memungkinkan wisatawan merasakan destinasi dengan cara baru tanpa perlu hadir secara fisik.
Di Indonesia, destinasi wisata seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Taman Nasional Komodo mengembangkan tur virtual untuk menjaga eksposur global dan tetap menarik minat wisatawan lokal maupun internasional. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mencatat bahwa inisiatif ini menjadi upaya penting dalam menjaga keberlanjutan sektor pariwisata nasional di tengah penurunan drastis jumlah kunjungan wisatawan. Dengan kolaborasi bersama berbagai platform digital, Kemenparekraf berhasil menjangkau lebih dari 100 ribu pengunjung virtual ke Borobudur selama tahun 2020 hingga 2021, menandakan bahwa wisata virtual mampu menjadi sarana yang efektif dalam mempromosikan destinasi wisata.
Selain memberikan opsi yang aman di tengah pembatasan perjalanan, wisata virtual juga membantu memperkenalkan destinasi yang kurang terkenal. Misalnya, beberapa desa wisata di Jawa Tengah dan Jawa Timur memanfaatkan tur virtual untuk menampilkan budaya lokal dan kerajinan khas kepada wisatawan virtual dari seluruh dunia. Dalam konteks ini, tur virtual bukan hanya sekadar pengganti perjalanan fisik tetapi juga alat pemasaran yang strategis. Studi oleh Statista (2022) menunjukkan bahwa hampir 45% wisatawan yang menikmati tur virtual cenderung menempatkan destinasi tersebut dalam daftar tujuan perjalanan mereka di masa mendatang, menunjukkan potensi jangka panjang wisata virtual dalam membangkitkan minat kunjungan fisik.
Keuntungan dan Tantangan Pemasaran Wisata Virtual