Mohon tunggu...
syahmardi yacob
syahmardi yacob Mohon Tunggu... Dosen - Guru Besar Manajemen Pemasaran Universitas Jambi

Prof. Dr. Syahmardi Yacob, Guru Besar Manajemen Pemasaran di Universitas Jambi, memiliki passion yang mendalam dalam dunia akademik dan penelitian, khususnya di bidang strategi pemasaran, pemasaran pariwisata, pemasaran ritel, politik pemasaran, serta pemasaran di sektor pendidikan tinggi. Selain itu, beliau juga seorang penulis aktif yang tertarik menyajikan wawasan pemasaran strategis melalui tulisan beberapa media online di grup jawa pos Kepribadian beliau yang penuh semangat dan dedikasi tercermin dalam hobinya yang beragam, seperti menulis, membaca, dan bermain tenis. Menulis menjadi sarana untuk menyampaikan ide-ide segar dan relevan di dunia pemasaran, baik dari perspektif teoritis maupun aplikatif. Gaya beliau yang fokus, informatif, dan tajam dalam menganalisis isu-isu pemasaran menjadikan tulisannya memiliki nilai tambah yang kuat, khususnya dalam memberikan pencerahan dan solusi praktis di ranah pemasaran Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Digitalisasi: Menjaga Inovasi Sambil Merawat Identitas Budaya

26 Oktober 2024   13:36 Diperbarui: 26 Oktober 2024   13:47 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Pendahuluan

Digitalisasi merupakan proses konversi informasi dari bentuk analog ke bentuk digital, yang memungkinkan data untuk diproses, disimpan, dan disebarluaskan dengan lebih efisien. Dalam konteks ini, digitalisasi tidak hanya mencakup teknologi informasi, tetapi juga meliputi perubahan sosial dan budaya yang terjadi akibat adopsi teknologi digital. Menurut laporan dari International Telecommunication Union (ITU), pada tahun 2021, jumlah pengguna internet di seluruh dunia mencapai 4,9 miliar, yang mencerminkan pertumbuhan pesat dalam aksesibilitas teknologi digital (ITU, 2021).

Perkembangan digitalisasi telah membawa banyak inovasi dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan, kesehatan, dan bisnis. Misalnya, penggunaan platform e-learning telah memungkinkan pendidikan yang lebih inklusif dan aksesibilitas yang lebih baik bagi siswa di daerah terpencil. Dalam konteks bisnis, digitalisasi telah mendorong munculnya model bisnis baru seperti e-commerce yang memungkinkan transaksi dilakukan secara online, memperluas pasar dan meningkatkan efisiensi operasional (McKinsey, 2020).

Namun, di balik berbagai manfaat yang ditawarkan, digitalisasi juga membawa tantangan tersendiri. Salah satu tantangan utama adalah potensi hilangnya identitas budaya yang terjadi seiring dengan dominasi budaya global yang dibawa oleh teknologi digital. Misalnya, banyak konten lokal yang tidak mendapatkan perhatian di platform digital besar, seperti YouTube atau Spotify, yang lebih mengutamakan konten yang populer secara global (Hofstede, 2020).

Dalam konteks Indonesia, digitalisasi memberikan peluang besar untuk mempromosikan budaya lokal. Namun, dalam praktiknya, banyak budaya tradisional yang terpinggirkan oleh budaya pop yang lebih mendominasi di platform digital. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 70% generasi muda lebih memilih konten digital yang berasal dari luar negeri dibandingkan dengan konten lokal (BPS, 2021). Hal ini menunjukkan perlunya strategi untuk melestarikan dan mempromosikan budaya lokal di era digital.

Dengan demikian, penting untuk mengkaji lebih dalam mengenai dampak digitalisasi terhadap identitas budaya, terutama dalam konteks inovasi yang dihadirkan. Dalam bagian selanjutnya, kita akan membahas lebih lanjut mengenai bagaimana digitalisasi dapat menjadi alat untuk inovasi sekaligus menjadi ancaman bagi keberlangsungan identitas budaya.

 Inovasi yang Dihadirkan oleh Digitalisasi

Digitalisasi telah membuka peluang inovasi yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam bidang pendidikan, misalnya, teknologi digital telah memungkinkan metode pembelajaran yang lebih interaktif dan menarik. Platform pembelajaran online seperti Coursera dan edX menawarkan kursus dari universitas terkemuka di seluruh dunia, memungkinkan akses pendidikan berkualitas bagi siapa saja, di mana saja. Data dari World Economic Forum menunjukkan bahwa 65% anak-anak yang saat ini berada di sekolah dasar akan bekerja di bidang yang belum ada saat ini, menekankan pentingnya inovasi dalam pendidikan (World Economic Forum, 2020).

Di sektor kesehatan, digitalisasi juga telah membawa perubahan yang signifikan. Telemedicine, yang memungkinkan pasien untuk berkonsultasi dengan dokter melalui video call, menjadi semakin populer, terutama selama pandemi COVID-19. Menurut laporan dari McKinsey, penggunaan telemedicine meningkat dari 11% sebelum pandemi menjadi 46% pada tahun 2020 (McKinsey, 2020). Inovasi ini tidak hanya meningkatkan akses layanan kesehatan, tetapi juga memungkinkan manajemen kesehatan yang lebih efisien.

Namun, inovasi yang dihadirkan oleh digitalisasi tidak selalu berjalan mulus. Banyak inovasi yang terfokus pada profitabilitas dan efisiensi, seringkali mengabaikan aspek keberlanjutan dan pelestarian budaya. Misalnya, dalam industri kreatif, banyak seniman lokal yang kesulitan bersaing dengan konten global yang lebih mudah diakses dan lebih menarik bagi audiens (Hofstede, 2020). Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kita dapat mendorong inovasi yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga mendukung pelestarian identitas budaya.

Selain itu, digitalisasi juga membawa tantangan dalam hal privasi dan keamanan data. Dengan semakin banyaknya informasi pribadi yang disimpan secara digital, risiko kebocoran data semakin meningkat. Menurut laporan dari Cybersecurity Ventures, kerugian akibat kejahatan siber diperkirakan mencapai $6 triliun pada tahun 2021 (Cybersecurity Ventures, 2021). Oleh karena itu, penting untuk menciptakan inovasi yang tidak hanya fokus pada kemajuan teknologi, tetapi juga memperhatikan aspek keamanan dan privasi pengguna.

Dalam konteks ini, kita perlu mengeksplorasi lebih lanjut bagaimana inovasi yang dihasilkan dari digitalisasi dapat diimbangi dengan upaya untuk melestarikan identitas budaya. Pada bagian berikutnya, kita akan membahas lebih dalam mengenai dampak negatif dari digitalisasi terhadap identitas budaya.

Dampak Negatif Digitalisasi terhadap Identitas Budaya

Dampak negatif dari digitalisasi terhadap identitas budaya menjadi isu yang semakin mendesak untuk diperhatikan. Salah satu dampak paling nyata adalah homogenisasi budaya, di mana budaya lokal terancam punah akibat pengaruh budaya global yang lebih dominan. Menurut laporan dari UNESCO, lebih dari 90% konten yang tersedia di internet berasal dari negara-negara maju, yang menyebabkan budaya lokal sulit untuk bersaing (UNESCO, 2021). Hal ini menciptakan kesenjangan dalam representasi budaya di dunia digital.

Contoh nyata dari dampak ini dapat dilihat dalam industri musik. Banyak musisi lokal yang kesulitan untuk mendapatkan perhatian di platform streaming musik yang lebih mempromosikan artis internasional. Sebagai contoh, lagu-lagu tradisional dari daerah tertentu seringkali tidak mendapatkan tempat di playlist yang lebih populer, sehingga mengurangi eksposur dan penghargaan terhadap budaya lokal (Hofstede, 2020). Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan generasi muda kehilangan minat terhadap warisan budaya mereka.

Selain itu, digitalisasi juga mempengaruhi cara orang berinteraksi dengan budaya mereka. Dengan semakin banyaknya informasi yang tersedia secara online, banyak orang yang lebih memilih untuk mengonsumsi budaya melalui layar, dibandingkan dengan pengalaman langsung. Menurut survei yang dilakukan oleh Pew Research Center, 55% orang dewasa di AS lebih memilih menonton film atau acara televisi daripada pergi ke teater atau konser (Pew Research Center, 2020). Perubahan perilaku ini dapat mengakibatkan hilangnya pengalaman budaya yang otentik dan mendalam.

Kehilangan identitas budaya juga dapat terlihat dari cara masyarakat mengadopsi elemen-elemen budaya asing tanpa memahami konteks dan maknanya. Fenomena ini sering disebut sebagai "kulturalisasi," di mana elemen budaya asing diadopsi dan diubah tanpa mempertimbangkan nilai-nilai asli dari budaya tersebut. Misalnya, banyak remaja yang mengadopsi gaya berpakaian atau bahasa dari budaya pop tanpa memahami akar budaya tersebut (Hofstede, 2020). Hal ini dapat menyebabkan kebingungan identitas dan kehilangan rasa memiliki terhadap budaya lokal.

Dengan demikian, dampak negatif digitalisasi terhadap identitas budaya sangat kompleks dan memerlukan perhatian yang serius. Dalam bagian selanjutnya, kita akan membahas upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan identitas budaya di era digital ini.

Upaya Melestarikan Identitas Budaya di Era Digital

Melestarikan identitas budaya di era digital memerlukan kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat. Salah satu langkah awal yang dapat diambil adalah dengan mengintegrasikan pendidikan budaya ke dalam kurikulum sekolah. Dengan mengenalkan siswa pada nilai-nilai dan tradisi budaya mereka sejak dini, diharapkan generasi muda dapat lebih menghargai dan melestarikan warisan budaya mereka. Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, sekitar 60% sekolah di Indonesia sudah mulai mengajarkan pendidikan karakter yang mencakup budaya lokal (Kemendikbud, 2021).

Selain itu, penggunaan teknologi digital juga dapat dimanfaatkan untuk mempromosikan budaya lokal. Misalnya, platform media sosial dapat digunakan untuk menyebarluaskan konten budaya yang menarik dan edukatif. Beberapa inisiatif telah dilakukan oleh komunitas lokal yang menggunakan Instagram dan YouTube untuk memperkenalkan tradisi dan seni lokal kepada audiens yang lebih luas. Menurut laporan dari Digital Marketing Institute, konten visual memiliki tingkat keterlibatan yang lebih tinggi, sehingga dapat menjadi alat yang efektif untuk menarik perhatian generasi muda (Digital Marketing Institute, 2021).

Pemerintah juga memiliki peran penting dalam melestarikan identitas budaya. Dengan memberikan dukungan kepada seniman lokal dan komunitas budaya, pemerintah dapat membantu menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan dan promosi budaya lokal. Misalnya, program Festival Budaya yang diadakan oleh pemerintah daerah dapat menjadi ajang untuk memperkenalkan seni dan tradisi lokal kepada masyarakat luas. Menurut data dari Badan Ekonomi Kreatif Indonesia, festival budaya dapat meningkatkan kunjungan wisatawan hingga 30% (Bekraf, 2020).

Selain itu, kolaborasi antara sektor swasta dan komunitas budaya juga dapat menjadi langkah strategis. Perusahaan teknologi dapat berinvestasi dalam proyek-proyek yang bertujuan untuk melestarikan budaya lokal, seperti pengembangan aplikasi yang menampilkan seni dan tradisi lokal. Dengan demikian, digitalisasi dapat menjadi alat untuk memperkuat identitas budaya, bukan sebaliknya.

Dalam bagian terakhir, kita akan membahas kesimpulan dan rekomendasi untuk menghadapi tantangan digitalisasi dalam konteks identitas budaya.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Digitalisasi membawa banyak inovasi yang bermanfaat, namun juga menghadirkan tantangan serius terhadap identitas budaya. Proses homogenisasi budaya, pengaruh budaya asing, dan perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi budaya menjadi isu yang perlu diatasi. Melalui upaya bersama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat, pelestarian identitas budaya di era digital dapat dicapai.

Rekomendasi untuk melestarikan identitas budaya di era digital antara lain adalah integrasi pendidikan budaya dalam kurikulum, pemanfaatan teknologi digital untuk promosi budaya lokal, dukungan pemerintah terhadap seniman dan komunitas budaya, serta kolaborasi antara sektor swasta dan komunitas budaya. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan identitas budaya dapat tetap terjaga dan berkembang meskipun di tengah arus digitalisasi yang semakin kuat.

Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi kita untuk tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga menjadi pelestari budaya. Dengan demikian, digitalisasi dapat menjadi alat yang mendukung keberagaman budaya, bukan ancaman bagi identitas budaya itu sendiri.

*Guru Besar Bidang Manajemen Pemasaran Universitas Jambi

Sumber Rujukan

Badan Pusat Statistik (BPS). (2021). Data Pengguna Internet di Indonesia.

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). (2020). Laporan Festival Budaya.

Cybersecurity Ventures. (2021). Cybercrime Report.

Digital Marketing Institute. (2021). The Importance of Visual Content.

Hofstede, G. (2020). Culture's Consequences: Comparing Values, Behaviors, Institutions, and Organizations Across Nations.

International Telecommunication Union (ITU). (2021). Measuring Digital Development: Facts and Figures.

McKinsey & Company. (2020). The Future of Work After COVID-19.

Pew Research Center. (2020). The Future of Digital Life and Well-Being.

UNESCO. (2021). World Report on Cultural Diversity.

World Economic Forum. (2020). The Future of Jobs Report.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun