"Se-asam itu kah harimu?"
Aku menoleh, menatap seorang pemuda dengan helm yang masih menutupi wajahnya.
"Maaf?" tanyaku. Pemuda itu melepas helmnya dan memajukan dagunya seolah menunjuk ke arah satu gelas jus lemon tanpa gula tanpa susu yang disodorkan ibu kantin padaku. Dia bertanya sambil cengengesan. Menatapku serupa anak kelinci dalam kandang harimau.
Mual tiba-tiba muncul, menjalar ke ulu hati, lalu menyengat seperti lebah.
... ahh, begitukah, batinku.Â
Aku melengos tanpa sepatah kata. Pandanganku kabur dan pipiku mulai basah, rupanya mataku telah berkhianat. Buru-buru aku membayar jus lemonku dan pergi mencari tempat duduk.
Aku kadang rindu mentari. Saat malam hari, yang bernama 'senyap' tanpa bahasa tanpa suara suka menyapa dan kerap melahapku bulat-bulat. Dan saat itu terjadi, hanya ada aku dan gelap. Romantis, bukan? Aku yakin bila Dia tahu, Dia pasti cemburu berat. Ya, itupun jikalau Dia masih Dia yang ku kenal dulu. Aku merindukannya. Setiap saat.
Sejak Dia pergi, segalanya terasa semu. Seperti tidak pernah benar-benar berpijak di tanah. Seperti tidak benar-benar melihat dunia. Seperti tidak benar-benar menghirup dan menghembuskan napas.Â
Semua terasa hambar, remang-remang, abu-abu. Tidak terang, gelap pun tidak. Tidak putih, hitam pun tidak. Tidak bahagia, sedih pun tidak. Seperti berada di pertengahan jalan yang dihimpit kenormalan dan ketidaknormalan. Maju tidak mampu, mundur pun tidak mau. Apa ini yang disebut titik keanomalian? Hidup dengan setengah asa. Setengah harapan. Setengah senyum. Lalu setengah bagian yang tersisa.... kerapuhan.Â
Rasanya asam.
"Kamu tahu?"