Karena umat Muslim dilarang mudik, dilarang berkumpul dalam konteks apapun, termasuk salat berjamaah, maka dalam waktu yang tidak lama lagi hari raya tiba, MUI harus juga mengeluarkan fatwa tentang solat 'id di tengah suasana wabah.Â
Membaca fatwa MUI tentang pedoman solat sunah hari raya ini, saya tertegun membaca pendapat Imam Syafi'i dalam mahakarya fiqh-nya, al-Umm (Kitab Induk), yang dijadikan konsideran dalam argumentasi fatwa MUI No 28 tahun 2020.Â
Dalam Juz 1 halaman 86 sebagaimana dikutip dalam Fatwa MUI disebutkan, "wa sholatu al-jama'ati muakkadatun wa la ajizu tarkaha liman qadara 'alaiha bihalin wahuwa sholatu al-'idain wa kusyufi al-syams wa al-qamar wa al-istisqa" (salat tathawu' yang dilaksanakan secara berjamaah itu sunah muakadah dan saya tidak membolehkan untuk meninggalkannya bagi orang yang mampu menjalankannya. Jenis ini adalah solat Idul Fitri dan Idul Adha, solat gerhana matahari dan bulan, serta salat istisyqa).
Lalu bagaimana praktiknya? Lagi-lagi saya merasa sangat awam dalam hal ini, tetapi kemungkinan jika kita pahami pernyataan Imam Syafi'i diatas secara hermeneutis-fenomenologis, bahwa yang dimaksud dengan berjamaah tentu saja di lapangan, masjid, atau musola, dan kecil kemungkinan bahwa yang berjamaah yang dimaksud dilakukan secara sendiri atau bersama beberapa orang di rumah.Â
Fenomena menggembirakan di hari raya bahkan terlukis dalam salah satu hadis yang berasal dari Ummu Athiyah, dimana Rasulullah memerintahkan siapa saja untuk bersama-sama keluar di hari Idul Fitri maupun Idul Adha.Â
Mereka orang-orang tua yang lemah (al-awatiq), wanita-wanita yang sedang haid (huyyadl), dan atau mereka yang sedang "dipingit" atau terhalang keluar dari rumah karena adat (dzawat al-hudzr), diperintahkan untuk keluar dari rumahnya masing-masing untuk menyemarakkan salat hari raya, sebab hari raya adalah hari kegembiraan yang penuh suka cita.
Namun sepertinya, hari raya pada tahun ini kurang gembira atau mungkin tidak dirayakan, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Ketidakjelasan masa PSBB di setiap wilayah dan aturan-aturannya yang tampak "tebang pilih" atau dalam konteks luas, aturan ini lebih banyak mengalami kegagalan dalam melakukan pembatasan aktivitas melalui sistem karantina wilayah.
Aspek kegagalan yang saya maksud tentu saja "debatable", sehingga tidak perlu ada pertentangan tajam saling klaim kebenaran, antara mereka yang mendukung aturan pemerintah dan yang mengkritiknya, sebab kedua-duanya merupakan kelompok yang taat aturan hukum.Â
Bagi sebagian yang ingin melaksanakan salat hari raya lengkap dengan merayakannya sendiri di rumah, bersama satu keluarganya saja jelas sedang berupaya melawan virus corona, minimal mereka tidak menularkannya kepada pihak lain.Â
Namun, bagi mereka yang tidak terpapar dan berada pada suatu zona hijau yang aman dan di sekitar lingkungan tempat tinggalnya tidak ada satupun orang yang terpapar, lalu kenapa tidak melakukan salat hari raya berjamaah? Keduanya jelas memiliki konsekuensi hukum secara agama dan beragama tentu saja tidak boleh dipersulit.
Kita tentu saja akan sangat sulit mencari fakta-fakta historis masa lalu terkait dengan berbagai persoalan ibadah, jikapun ada sangat terbatas. Apakah ada penutupan masjid di masa Rasulullah karena wabah? Kemudian dilarang salat berjamaah dan kegiatan-kegiatan keagamaan? Atau adakah ditemukan fakta lainnya yang menyebut betapa bulan Ramadan dirundung kesedihan atau ketakutan untuk melaksanakan ibadah, karena hampir seluruh masjid atau musola dijaga oleh aparat? Sampai-sampai ada beberapa masjid atau musola yang mencuri-curi kesempatan berjamaah hanya pada saat aparat lengah?Â