Membaca wacana jilbab dalam ruang sakralisme teks, tentu saja berangkat dari asumsi yang didasarkan atas kepercayaan bahwa jilbab tentu saja tidak sekadar "simbol kenabian" yang dimunculkan melalui cara berpakaian istri-istri Nabi, namun juga "perintah" secara konotatif untuk membedakan wanita muslim dan nonmuslim pada saat itu. Iman akan memahami bahwa konteks ayat jilbab berlaku dalam koridor kewajiban agama terlebih dahulu, bukan sekadar aktivitas budaya yang dikedepankan.Â
Saya kira aktivitas hermeneutika Riceour cenderung lebih objektif, mengingat lingkaran hermeneutiknya yang cukup menggairahkan. Gagasan Riceour terdiri atas dua hal: Pertama, percaya supaya memahami berarti bahwa iman merupakan presuposisi pemahaman; kedua, memahami supaya percaya berarti bahwa interpretasi membantu orang modern untuk beriman.
Intensi ayat jilbab adalah makna iman yang sangat kuat di dalamnya sehingga bagi setiap muslim yang berangkat dari pijakan iman yang kuat, pasti menyatakan dalam presuposisinya bahwa jilbab hanya dapat dipahami melalui iman, bukan akal terlebih sekadar pembuktian keterpaparan ideologis-subjektif atau justifikasi "klaim" kebenaran. Jadi, kita sekarang lebih mudah membedakan mana yang benar-benar memahami ayat suci dari ruang interpretasi 'bebas' Â dan mana yang secara ideologis menjustifikasi ayat dalam ruang 'terbatas'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H