Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Problematika Menghijrahkan Ibu Kota

27 Agustus 2019   11:14 Diperbarui: 28 Agustus 2019   12:17 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawasan inti pusat pemerintahan ibu kota negara. (Sumber: Kementerian PUPR)

Menurut hemat saya, sisi teologis dari hijrah tentu saja ada dorongan kerelaan yang sangat kuat yang berasal dari individu-individunya semata-mata untuk menuju ke arah perubahan lebih baik, sekaligus secara sosiologis, mereka-mereka yang hijrah tentu saja sebelumnya mendapatkan tekanan-tekanan fisik dan psikologis di tempat asalnya sehingga mereka semangat untuk hijrah demi membentuk suatu komunitas baru yang lebih kuat dan solid. 

Barangkali, inilah nilai-nilai hijrah yang dapat kita petik dari pengalaman hijrah Nabi Muhammad beserta pengikutnya dari Mekah ke Madinah. Mekah, yang pada waktu itu sudah menjadi pusat bisnis yang sangat besar, settle, dan mapan secara struktur sosial, lalu ditinggalkan oleh Nabi Muhammad ke wilayah lainnya yang masih sepi, rural, dan lebih tertinggal secara peradaban.

Memang, Nabi berhasil membangun Madinah sebagai kawasan kosmopolit dan berperadaban (madani), sebab prinsip hijrah sudah diperhitungkan secara matang dan masyarakat Madinah juga berkenan dan ingin bersama-sama membangun peradaban dengan kedatangan masyarakat baru Mekah yang pindah bersama-sama beliau. 

Madinah, dalam sejarahnya sukses menjadi sebuah "negara-kota" (city-state) yang gaungnya bahkan melampaui kota Mekah sendiri yang telah lebih dulu menjadi kawasan paling beradab di Jazirah Arab. 

Inilah nilai-nilai hijrah yang kadang disalahpersepsikan oleh sebagian kalangan milenial muslim perkotaan, dimana yang mereka kedepankan justru nuansa fisik yang bersifat simbolik dan saya kira, jangan sampai pada akhirnya hijrahnya ibu kota juga sebatas pemenuhan "gengsi politik" yang cenderung simbolik yang pada akhirnya hanya akan memperoleh kegagalan-kegagalan secara aplikatif.

Saya kira, butuh perencanaan yang matang dan terukur dalam wacana menghijrahkan ibu kota ini. Mungkin dapat dilakukan secara pelan-pelan dan bertahap, diawali dengan mengkaji berbagai aturan dan perundangan yang terkait dengan hal ini terlebih dahulu, sebelum wacana ini justru seolah menjadi semakin liar di tengah masyarakat. 

Memang, dalam peralihan suatu masyarakat modern, selalu saja muncul letupan-letupan sosial yang menginginkan perubahan secara cepat yang terkadang memberangus berbagai macam tradisi yang telah terbangun ajeg sekian lama. 

Namun, modernisasi juga dapat dilakukan tanpa mengorbankan nilai-nilai atau tradisi yang telah hidup dalam masyarakat, melalui komunikasi yang terbangun secara baik antara pemerintah dan rakyatnya. Jangan sekadar memenuhi keinginan elit, tetapi masyarakat justru yang menerima segala konsekuensinya. 

Modernisasi harus tetap melihat lanskap pembangunan politik, ekonomi, budaya, yang selaras dengan kepribadian dan nilai-nilai yang berkembang, bukan memaksakannya agar keluar dari realitas peradaban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun