Sulit membayangkan, jika mereka harus pindah atau hijrah, yang tidak saja secara fisik: kantor, rumah, keluarga, yang harus bersama-sama pindah, namun juga berdimensi non-fisik: merasakan kultur baru, nuansa kehidupan keagamaan baru, alam pikiran baru, dan segala hal yang terkait dengan nuansa ideologis yang juga perlu "dibarukan".Â
Sama halnya ketika istilah "hijrah" ini dipinjam oleh kalangan tertentu yang pada akhirnya tampak problematik dari sisi teologis, dimana makna ini disamakan dengan istilah "taubat" yang sangat bersifat privat tetapi dipaksakan berada dalam suatu ruang publik.
Saya merasa tertarik melihat fenomena hijrah yang belakangan semarak di kalangan kelompok muda Muslim milienial yang dikaitkan dengan menguatnya wacana hijrah ibu kota.Â
Peminjaman istilah "hijrah" yang belakangan dipergunakan kalangan muslim di Indonesia, tentu saja problematik, tidak saja dari sisi diksinya yang memiliki kesan bisnis dalam bentuk komodifikasi agama, namun juga seringkali salah kaprah dalam tataran praksisnya.Â
Banyak diantara kalangan muda Muslim milenial yang memanfaatkan hijrah secara simbolik: dari yang berhijab menjadi bercadar, dari yang berbusana tradisional-konvensional menjadi kearab-araban sehingga tampak "regional", bahkan banyak sisi penampilan yang diperkuat secara simbolik, bukan realitas substantif hijrah itu sendiri.
Hijrah memang istilah yang diambil dalam tradisi bangsa Arab yang pada mulanya dipergunakan sebagai bentuk antonim dari kata "mengikat/ikatan" (al-washlu). Ketika seseorang hijrah, berarti dirinya "melepaskan ikatan" atau "tidak berada dalam suatu ikatan" tersebut.Â
Dalam sebuah riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad disebutkan, "La hijrata ba'da tsalats" (tidak berlaku hijrah setelah tiga hari).Â
Barangkali yang dimaksud oleh ungkapan Nabi ini adalah batas waktu untuk berada dalam suatu ikatan sosial setelah terjadinya konflik atau perseteruan antarindividu di dalamnya hanyalah tiga hari, setelah melewati batas itu, prinsip hijrah tidak lagi berlaku.
Dalam konteks ini, hijrahnya ibu kota berarti "melepaskan diri" dari segala yang mengikat sebelumnya, baik aturan perundang-undangan, nilai-nilai budaya masyarakat, keterikatan dengan kultur, sehinga memang memerlukan waktu yang cukup lama untuk dibicarakan, didiskusikan, disepakati bersama, sehingga keutuhan ikatan-ikatan sosial tetap terjaga dan nilai-nilai yang telah lama terbangun di dalamnya tak tercerabut dari akarnya.Â
Hijrah tidak sesederhana "al-khuruj min al-ardl ila ardl" (meninggalkan suatu wilayah menuju ke wilayah lainnya), yang cenderung berkonotasi fisik, lalu mengabaikan hal-hal lainnya yang justru menjadi penting sebelum melakukan praktik hijrah tersebut.Â
Jangan sampai mereka nanti yang berhijrah dari ibu kota sekadar dipandang sebagai "muhajirin" atau orang-orang yang patut dibantu dan difasilitasi, padahal selama di ibu kota mereka adalah orang-orang mapan dalam banyak hal.