Beberapa waktu yang lalu, saya sengaja sowan ke sebuah pesantren di kawasan Banyu Urip, Ujung Pangkah, Gresik. Kebetulan, pengasuh pesantren tersebut adalah kawan sekaligus guru saya ketika masih sama-sama kuliah di IAIN (sekarang UIN) Syrif Hidayatullah Jakarta.Â
Gus Atha---biasa saya memanggilnya---merupakan pengasuh Pesantren Mambaul Ihsan sekaligus salah satu penggagas dibangunnnya masjid unik di kawasan tersebut dengan arsitektur mirip dengan kapal.Â
Masjid Kapal ini diberi nama Masjid Jami' Abdulhamid Alfaqih sebagai penghormatan atas ulama tersebut yang konon dahulu menyebarkan ajaran Islam di Jawa dengan menggunakan perahu.
Bukan suatu kebetulan, bahwa Masjid Kapal ini memiliki arsitektur segitiga di ujung bangunannya yang menyerupai kapal dan hal ini tentu saja menjadi keunikan yang tak perlu dipersoalkan.Â
Yang terpenting bahwa, sisi historis suatu masjid tampak lebih ditekankan dan hal itu tentu saja menjadi pengingat siapapun yang kemudian berkunjung dan beribadah di dalamnya.Â
Kiai Abdulhamid adalah putra dari Kiai Muhammad Faqih Maskumambang, salah satu ulama besar pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan murid pertama Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Dibangunnya masjid ini tentu saja kental suasana historis dan tak ada kaitan apapun dengan simbolisasi yang belakangan ini justru dituduhkan sebagian pihak yang tercemari nuansa politik.
Hampir seluruh konflik keagamaan yang muncul belakangan memang tak dapat lepas dari suasana konflik politik yang mengitarinya. Hal inilah yang menjadi keresahan utama seorang ulama kenamaan, ahli perbandingan agama, Imam As-Syahrastani yang secara lugas dituliskannya dalam sebuah kitab berjudul, "Al-Milal wa an-Nihal". Keresahan tersebut ia ungkapkan dalam satu kalimat di bab pertama kitabnya, "semua pertikaian dan fitnah dalam bidang agama, dimulai dari bidang politik".Â
Pernyataan ini tentu saja memiliki relevansinya hingga saat ini dan sangat kita rasakan belakangan, terutama terkait dengan masalah-masalah perbedaan kepentingan politik masyarakat.Â
Konflik politik telah merambah ruang-ruang teologis yang kemudian dihembuskan nada-nada fitnah dan kecurigaan terhadap mereka yang berseberangan pilihan politiknya.
Sulit rasanya kemudian untuk kita berada dalam situasi yang benar-benar berada di luar zona konflik politik, karena hampir dipastikan bahasa agama seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan pribadi politiknya masing-masing.Â
Alih-alih kita ingin berada dalam suasana yang lebih netral dan lepas dari kecenderungan politik, kita malah seringkali dituduh sebagai bagian dari mereka yang tak peduli agama atau bahkan tidak membela sedikitpun agamanya.Â