Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tak Ada Puasa Tanpa Niat

13 Mei 2019   11:40 Diperbarui: 13 Mei 2019   11:44 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Persoalan niat dalam ibadah ini sudah menjadi realitas klasik dalam tradisi Islam. Tidak hanya soal  bagaimana niat itu diabsahkan: apakah harus diucapkan secara jelas ataukah cukup diyakinkan dalam hati, namun terdapat kekhususan dalam konteks ibadah, niat menjadi sesuatu yang tidak boleh tidak sangat menentukan, sah atau tidaknya sebuah ritual. 

Di Indonesia, perdebatan soal niat ini sudah menjadi diskursus hangat para ulama yang tersebar dalam berbagai karya, baik buku-buku bertemakan agama Islam bercorak fikih, risalah-risalah pendek, atau tulisan-tulisan yang tersebar dalam berbagai media massa, bahkan sejak awal abad ke dua puluh. 

Sebagai contoh, risalah-risalah pendek karya KH Ahmad Sanusi, ulama yang disegani di Jawa Barat, membahas polemik niat ini dan beberapa ritualitas lainnya yang kerap dipolemikkan.

Dalam konteks puasa saja, soal pengucapan niat yang ramai dikumandangkan oleh masyarakat "tradisionalis" selepas salat Tarawih di masjid-masjid, pernah menjadi kritikan tajam sekelompok orang dengan menyebut bahwa niat puasa bukanlah itu yang dimaksud. 

Tak segan-segan, kelompok "ekslusif" ini memandang praktik pengucapan niat sebagai hal yang menyimpang dari tradisi Islam sebagaimana dipraktikkan masyarakat muslim awal. 

Bahkan ada juga yang menganggap bahwa niat cukup dilakukan dalam hati dan hanya di lakukan satu kali saja ketika memasuki bulan Ramadan. Namun, sekeras apapun kelompok ekslusif ini "menggempur" praktik-praktik ritual tradisional, namun pada kenyataannya, ritual yang paling klasik itu tetap tak bergeming, bahkan semakin ramai pembacaan niat dengan lantang dikumandangkan dari berbagai masjid dan musala.

Niat dalam ritual puasa, nampaknya menjadi perhatian khusus dalam tradisi Islam, sebab ditemukan satu riwayat "marfu" (riwayat yang disandarkan langsung kepada Nabi Muhammad), bahwa Nabi bersabda, "Siapa yang tidak berniat (yujmi') puasa sampai waktu subuh, maka tak ada puasa baginya". 

Hadis yang ditemukan dalam berbagai jalur periwayatan ini, tentu saja menjadi ajang perbedaan pendapat diantara para ulama, terutama dalam soal statusnya: "marfu" ataukan "mauquf" (hadis yang disandarkan hanya berhenti di para sahabat Nabi). 

Seorang pakar hadis, Ibnu Hazm, justru memandang bahwa semakin banyaknya perbedaan pendapat menyoal kedudukan hadis ini jelas menambah kuat periwayatannya dan mempertegas kedudukan hadis ini sebagai "marfu'" bukan sebaliknya.

Dengan berpedoman pada satu hadis ini saja, secara tidak langsung telah menegaskan, bahwa niat dalam berpuasa menjadi "kewajiban" bukan lagi sekadar "himbauan". 

Niat menjadi hal paling penting dan menentukan dalam seluruh keabsahan rangkaian ibadah, mengabaikannya berarti sama dengan tidak mematuhi aturan-aturan syariat yang telah disepakati. Bahkan, soal niat ini menjadi pintu masuk setiap orang dalam melakukan kegiatan apapun, bahkan tak ada satupun perbuatan yang tak didahuli dengan niat (innamal a'malu bin niyyaat). S

ebab suatu tindakan atau perbuatan itu berbeda-beda, sudah pasti semuanya didasari atau tergantung dari niatnya masing-masing (wa innama likullim ri'in ma nawa).

Salah satu karya yang membahas seputar niat dalam puasa ini adalah "Nailul Authar" yang ditulis Imam Asy-Syaukani, ulama abad ke delapan belas. Secara lebih detil, Asy-Syaukani membedah hadis niat ini berdasarkan analisis semantiknya. 

Misalnya, ketika ia menjelaskan kalimat "laa shiyama" (tidak ada puasa) itu berarti "nakirah fii siyaaq an-nafi" (bermakna umum dalam konteks seluruh larangan) sehingga kalimat ini berlaku umum untuk seluruh puasa, baik wajib, sunah, nazar, maupun kifarat, dimana seluruh puasa ini harus didahului niat, jika tidak maka batal puasanya. Kecuali, menurutnya, jika ada dalil yang lebih khusus yang tidak mensyaratkan niat dalam puasanya.

Mungkin masih banyak diantara sedikit kaum Muslim yang masih menyepelekan soal niat dalam berpuasa, bahkan terkadang ada saja yang mengabaikannya atau ada saja anggapan yang sangat naif, seperti "Ah, Tuhan juga Maha Tahu kalau saya puasa", seolah mendobrak batas-batas keagamaan yang telah ditetapkan berdasarkan asumsinya pribadi. Namun, ada saja segelintir orang yang mempermasalahkan bacaan niat berpuasa yang masyhur di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. 

Padahal, niat yang dilantangkan di malam hari di bulan Ramadan secara bersama-sama, jelas memperkuat entitas niat dalam hati, sehingga kesan niat kokoh menancap sebagai keyakinan agama yang membeda-bedakan setiap ritual yang dijalankannya: salat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya.

Sebagian besar bacaan niat berpuasa yang dikumandangkan selepas taraweh secara bersama-sama, dengan lafaz, "nawaitu shauma ghadin 'an ada'i fardli syahri romadlona hadzihi as-sanati lillahi ta'ala" dapat ditemukan dalam kitab "Kifayatul Akhyar" karya Imam Taqyu al-Din Abi Bakr Muhammad Husni al-Husaini (1351-1387 H) seorang ulama mazhab Syafi'i yang masyhur. 

Sekalipun tempat niat itu dalam hati, namun melantangkannya seperti "jala yang ditebar" karena niat tentu saja penggalan-penggalan yang "dikumpulkan" (yujma'u) menjadi satu ritual tertentu. 

Puasa, misalnya, tidak hanya sekadar menahan diri dari makan, minum, berbicara, dan berhubungan seksual, namun bagaimana seluruh prilaku yang dapat merusak puasa dapat dihindari bahkan dijauhi karena niat seperti "jala" yang mewadahi semuanya.

Maka, sangat masuk akal kalimat sebuah hadis, "man lam yujmi' as-shiyama qabla al-fajri fa laa shiyama lahu", yang mewajibkan niat ketika hendak berpuasa. 

Niat harus ditegaskan di malam harinya, sebelum dimulainya berpuasa di waktu subuh. Tidak berniat, berarti sama dengan tidak berpuasa, atau telat meniatkan puasa hingga batas waktu yang ditentukan juga sama dengan tidak berpuasa. 

Maka, beruntunglah mereka yang dengan lantang membacakan niat secara bersama-sama selepas tarawih karena jelas terhindar dari kealpaan niat dalam menjalankan seluruh rangkaian ibadah puasa. 

Jadi, masih menyepelekan niat? Atau masih menganggap melantangkan niat bersama-sama sebagai ritual bermasalah? Penting ditekankan disini, betapa para ulama terdahulu menerapkan tradisi ini (melantangkan niat), semata-mata demi kesempurnaan dan kehati-hatian dalam menjalani suatu ibadah, bukan membuat-buat atau mengada-adakan suatu tradisi baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun