Misalnya, bahwa pada hari itu terdapat peristiwa penting dimana doa Nabi Adam diterima oleh Allah; selamatnya bahtera Nuh di bukit Zuhdi; diselamatkannya Nabi Ibrahim dari panasnya api, dan lain sebagainya. Puasa 10 Muharram tentu saja diikuti dan menjadi tradisi ritual agama yang dipraktikkan oleh umat Yahudi, Nasrani, dan juga Muslim sebelum kewajiban puasa di bulan Ramadan diterima Nabi Muhammad.
Selain Asy-Syura, ada tradisi puasa yang dilakukan "ahl al-injil" (para pengikut Injil) di masa lalu yang juga dilakukan pada bulan Ramadan tetapi dengan hitungan 50 hari, berdasarkan asumsi bahwa penambahan 20 hari sebagai pengingat atas peristiwa kematian dua orang raja mereka yang wafat di bulan tersebut.
Dalam ceritera lainnya, bahwa umumnya Ramadan selalu bertepatan dengan musim yang paling ekstrim---jika panas menyengat, jika dingin membeku---sehingga banyak masyarakat khawatir kesakralan puasanya terganggu, sehingga mereka kemudian menambahkan 20 hari sebagai "penebus" (kifarat) sekaligus menjaga nilai-nilai kesakralan puasa tetap hidup dalam tradisi ritual mereka (az-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf).
Puasa juga telah menjadi ritual masyarakat Jawa bahkan diyakini sebagai ritual "elitis" yang dilakukan para raja dan keluarganya, wali, dan beberapa orang yang ingin memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dalam masyarakat.
Puasa dalam tradisi Jawa tentu saja bukan sekadar menahan makan dan minum saja, tetapi jauh dari itu menahan segala kecondongan nafsu, termasuk nafsu birahi dan berkomunikasi.
Cerita orang-orang sakti di zaman dahulu, umumnya adalah mereka yang mampu bertirakat secara sempurna, berpuasa dalam arti yang sebenar-benarnya dan menjaga segala hal apapun yang akan merusak kesakralan nilai berpuasa saat mereka menjalankannya. Bertapa atau mengasingkan diri selalu diiringi dengan tidak makan, minum, dan tidak berbicara satu patah katapun kepada orang lain.
Apa yang disebut bertapa, tentu saja secara jelas diungkapkan Alquran ketika menceritakan Siti Maryam bernazar untuk berpuasa secara total dalam hidupnya.
"Saya bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seseorang manusiapun pada hari ini" (QS. 19:26).
Praktik berpuasa sebagaimana dilakukan Siti Maryam (Ibunda dari Nabi Isa) merupakan berpuasa dalam bentuk "bertapa" sebagaimana dalam ritual Jawa kuno.
Sebab, berpuasa tidak hanya sebatas menahan lapar dan haus, tetapi meninggalkan segala hal yang memcegahnya (bertapa) dan tidak berbicara dengan siapapun manusia dalam hal ini.
Ritual kuno yang bernama puasa itu tetap menjadi bagian dari nilai kebaikan abadi dalam masyarakat Muslim yang selalu diikuti sebagai kewajiban agama pada setiap tahunnya. Karena puasa itu berasal langsung dari Allah, maka tak ada istilah "pamer" (riya) dalam ritual yang satu ini.