Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jumat dalam Tradisi Barat, Islam, dan Jawa

5 April 2019   13:58 Diperbarui: 5 April 2019   15:25 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Membicarakan hari Jumat bagi saya sangat menarik, selain hari itu adalah hari terakhir dari segala rutinitas bekerja, juga hari yang memiliki pemaknaan teologis yang cukup kuat, bahkan mungkin dianggap "sakral" oleh sebagian orang. 

Terutama dalam budaya Jawa, barangkali istilah "Jumat Kliwon" dikenal masyarakat memiliki kesan kuat dalam hal mistisisme yang kerap dihadirkan para penguasa Jawa masa lalu. Raja-raja Mataram, konon setiap malam Jumat Kliwon "matur" kehadapan Ratu Kidul untuk suatu kebutuhan khusus, terkait dengan kharisma dan kekuasaan politiknya.

Dalam sejarah agama-agama besar dunia, umat Yahudi menggunakan hari "Sabbath" (Sabtu) sebagai pijakan teologisnya dengan suatu keyakinan bahwa Tuhan "berisitirahat" setelah enam hari menciptakan alam raya---dimulai dari ahad, senin, dan seterusnya---sehingga Sabtu adalah hari dimana Tuhan beristirahat. 

Saya belum menemukan bagaimana umat Kristiani menjadikan Hari Munggu---"Ahad" dalam Islam---yang kemudian dijadikan salah satu hari besar keagamaannya.

Pemilihan Hari Jumat dalam tradisi Islam, berakar pada tradisi Arab, dimana kata "jum'ah" atau "jumu'ah" berkonotasi pada nuansa berkumpulnya orang-orang pada hari itu untuk melakukan berbagai kegiatan, termasuk mensucikan diri mereka dengan cara beribadah.

Dalam beberapa karya sejarawan Barat yang cenderung negatif terhadap Islam, menyebut Hari Jumat yang dijadikan "hari suci" umat muslim sebagai tradisi yang diambil dari kebiasaan paganis. Seorang profesor teolog berkebangsaan Jerman, Gisbertus Voetius (1589-1676) menulis sebuah risalah berjudul "Selectae Disputationes Theologicae" yang cenderung negatif terhadap Islam.

Ia misalnya menyebut, bahwa umat muslim telah mengganti hari "Sabbath" dengan hari Jumat atau "Dies Veneris" terutama karena mereka memuliakan dewi cinta, sebagaimana yang dilakukan para penganut pagan. Perlu diketahui, bahwa dalam beberapa budaya Eropa hari Jumat disebut sebagai "Hari Venus", sebagaimana dalam bahasa Prancis, Jumat disebut dengan "Vendredi" yang dalam mitologi Eropa, Venus adalah Dewi Cinta.

Dalam tradisi Arab, istilah "yaum al-jumu'ah" (Hari Jumat) sudah sejak zaman Jahiliyah dipergunakan untuk merujuk pada suatu kekhususan dimana hari itu merupakan ajang berkumpulnya bangsa Arab dengan berbagai keistimewaannya (yaumu al-'urubah). 

Maka, hari Jumat umumnya dipergunakan sebagai alasan berkumpul menganalogikan pada suatu situasi dimana para penggembala selalu menyatukan gembalaannya agar tidak tersesat dengan cara memberinya makanan. Sehingga pada hari itu, orang-orang berkumpul dengan tujuan kurang lebih sama: menghindari kesesatan karena dengan berkumpul atau bersatu, mereka tampak lebih kuat dan tidak khawatir terpecah-belah.

Dalam kitab "Lisaan al-'Arab", Ibnu al-Mandzur menjelaskan bahwa kemungkinan istilah "Jumu'ah" memang terkait erat dengan "yaum al-'urubah" yang pertama kali digagas oleh kakek Nabi Muhammad, Ka'b bin Lu'ay. 

Hal ini diperkuat oleh salah satu tulisan sejarawan Arab, Suhail dalam kitabnya, "ar-Raudli al-Unuf" yang menyebut bahwa Ka'b-lah yang pertama kali mempelopori hari Jumat sebagai hari berkumpulnya bangsa Arab. Tradisi "Yaum al-'Urubah" kemudian diganti oleh "Jumu'ah" ketika Islam mulai menjadi keyakinan yang dianut bangsa Arab.

Alquran menyebut "yaum al-jumu'ah" (dengan "tatsqil") sebagaimana terekam dalam surat Al-Jumu'ah ayat 9: "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jum'at (jumu'ah), maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli". Imam A'masy "menipiskan" (takhfif) bacaannya sesuai dengan teks, dengan membaca "jumu'ah" walaupun 'Ashim dan penduduk Hijaz "menebalkannya" (tatsqil) dengan menyebut "jum'ah". 

Jika memperhatikan ayat di atas, terdapat kalimat "dan tinggalkanlah jual beli" seolah menjadi kalimat "penekan" dalam membangkitkan suatu kesadaran etik untuk meninggalkan sementara waktu urusan-urusan keduniawian demi urusan-urusan keakhiratan (salat) yang lebih penting.

Melihat dari relasi historis yang digambarkan ayat ini saja---bahkan surat inipun dinamai "al-jumu'ah"---seolah memberikan kesan yang sangat kuat, bahwa Alquran turun tidak dalam suatu kekosongan sejarah, namun turun dalam konteks historis yang senantiasa menyapa dan berdialog dengan realitas tradisi yang telah dulu ada.

Terutama soal perniagaan yang merupakan kebiasaan bangsa-bangsa Arab yang kemudian disapa melalui ayat ini. Alquran membangkitkan dorongan kesadaran etik, agar orang-orang yang berkumpul (mujammi'ah) dengan beragam kepentingan ekonomis, disadarkan secara etis agar sejenak meninggalkan kepentingan bisnisnya.

Dengan demikian, pernyataan kalangan orientalis Barat---baca: pembenci Islam---yang secara sembrono menyebut hari Jumat sebagai kelanjutan dari tradisi pagan jelas menyesatkan. 

Hari Jumat jelas merupakan tradisi Arab pra Islam yang kemudian "divernakularisasikan" oleh Nabi Muhammad agar di hari berkumpulnya orang-orang untuk berdagang disadarkan melalui kekuatan etis yang lebih baik, dimana hal itu justru paling menguntungkan, sekalipun banyak orang yang tidak mengetahuinya (dzaalikum khairullakum in kuntum ta'lamuun). 

Seraya tetap tidak melarang perniagaan---sebab itu adalah kebiasaan bangsa Arab---namun sementara ditinggalkan demi alasan-alasan etis yang akan memberikan keuntungan material dan spiritual bagi mereka.

Disisi lain, tradisi Jawa memang berhasil menyerap suasana Jumat sebagai bagian dari "keistimewaan" (mazaayah) sekalipun tampak dipengaruhi oleh "kekhususan" waktu-waktu tertentu saja, seperti hari Jumat yang dihubungkan dengan Kliwon dalam kalender Jawa. Unsur mistisisme tampak menyeruak menjadi balutan tradisi yang sulit ditundukkan.

Kemungkinan besar bahwa mereka menyerap ajaran-ajaran Islam melalui apa yang diperkirakan banyak ahli sejarah dalam bentuk "mistisisme-sufisme" sehingga berpengaruh terhadap aktivitas keagamaan yang telah mereka anut sebelumnya. Mungkin saja bahwa sebelumnya, hari Jumat sudah menjadi bagian dari hari yang "disakralkan" oleh tradisi masyarakat Jawa, jauh sebelum mereka mengenal Islam.

Selamat Hari Jumat, karena di hari ini selain merupakan hari berkumpulnya umat muslim dalam rangka bersama-sama sujud, tunduk, dan patuh pada Tuhan Penguasa Alam---menumbuhkan suatu semangat etis. Juga merupakan hari terakhir bagi siapa saja yang melakukan rutinitas bekerja (weekend). Sehingga tidak heran, dalam tradisi Barat, Jumat dikenal sebagai "Friday" (hari bebas) karena keesokan harinya banyak orang yang berkumpul bersama keluarga menikmati suasana kebersamaan dan kehangatan selepas rutinitas bekerja selama lima hari.

Jadikan hari Jumat sebagai hari baik, banyak bersyukur atas semua anugerah Tuhan, sekaligus meningkatkan kesadaran etik di sela kesibukan manusia mengejar keuntungan-keuntungan dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun