Hal ini diperkuat oleh salah satu tulisan sejarawan Arab, Suhail dalam kitabnya, "ar-Raudli al-Unuf" yang menyebut bahwa Ka'b-lah yang pertama kali mempelopori hari Jumat sebagai hari berkumpulnya bangsa Arab. Tradisi "Yaum al-'Urubah" kemudian diganti oleh "Jumu'ah" ketika Islam mulai menjadi keyakinan yang dianut bangsa Arab.
Alquran menyebut "yaum al-jumu'ah" (dengan "tatsqil") sebagaimana terekam dalam surat Al-Jumu'ah ayat 9: "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jum'at (jumu'ah), maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli". Imam A'masy "menipiskan" (takhfif) bacaannya sesuai dengan teks, dengan membaca "jumu'ah" walaupun 'Ashim dan penduduk Hijaz "menebalkannya" (tatsqil) dengan menyebut "jum'ah".Â
Jika memperhatikan ayat di atas, terdapat kalimat "dan tinggalkanlah jual beli" seolah menjadi kalimat "penekan" dalam membangkitkan suatu kesadaran etik untuk meninggalkan sementara waktu urusan-urusan keduniawian demi urusan-urusan keakhiratan (salat) yang lebih penting.
Melihat dari relasi historis yang digambarkan ayat ini saja---bahkan surat inipun dinamai "al-jumu'ah"---seolah memberikan kesan yang sangat kuat, bahwa Alquran turun tidak dalam suatu kekosongan sejarah, namun turun dalam konteks historis yang senantiasa menyapa dan berdialog dengan realitas tradisi yang telah dulu ada.
Terutama soal perniagaan yang merupakan kebiasaan bangsa-bangsa Arab yang kemudian disapa melalui ayat ini. Alquran membangkitkan dorongan kesadaran etik, agar orang-orang yang berkumpul (mujammi'ah) dengan beragam kepentingan ekonomis, disadarkan secara etis agar sejenak meninggalkan kepentingan bisnisnya.
Dengan demikian, pernyataan kalangan orientalis Barat---baca: pembenci Islam---yang secara sembrono menyebut hari Jumat sebagai kelanjutan dari tradisi pagan jelas menyesatkan.Â
Hari Jumat jelas merupakan tradisi Arab pra Islam yang kemudian "divernakularisasikan" oleh Nabi Muhammad agar di hari berkumpulnya orang-orang untuk berdagang disadarkan melalui kekuatan etis yang lebih baik, dimana hal itu justru paling menguntungkan, sekalipun banyak orang yang tidak mengetahuinya (dzaalikum khairullakum in kuntum ta'lamuun).Â
Seraya tetap tidak melarang perniagaan---sebab itu adalah kebiasaan bangsa Arab---namun sementara ditinggalkan demi alasan-alasan etis yang akan memberikan keuntungan material dan spiritual bagi mereka.
Disisi lain, tradisi Jawa memang berhasil menyerap suasana Jumat sebagai bagian dari "keistimewaan" (mazaayah) sekalipun tampak dipengaruhi oleh "kekhususan" waktu-waktu tertentu saja, seperti hari Jumat yang dihubungkan dengan Kliwon dalam kalender Jawa. Unsur mistisisme tampak menyeruak menjadi balutan tradisi yang sulit ditundukkan.
Kemungkinan besar bahwa mereka menyerap ajaran-ajaran Islam melalui apa yang diperkirakan banyak ahli sejarah dalam bentuk "mistisisme-sufisme" sehingga berpengaruh terhadap aktivitas keagamaan yang telah mereka anut sebelumnya. Mungkin saja bahwa sebelumnya, hari Jumat sudah menjadi bagian dari hari yang "disakralkan" oleh tradisi masyarakat Jawa, jauh sebelum mereka mengenal Islam.
Selamat Hari Jumat, karena di hari ini selain merupakan hari berkumpulnya umat muslim dalam rangka bersama-sama sujud, tunduk, dan patuh pada Tuhan Penguasa Alam---menumbuhkan suatu semangat etis. Juga merupakan hari terakhir bagi siapa saja yang melakukan rutinitas bekerja (weekend). Sehingga tidak heran, dalam tradisi Barat, Jumat dikenal sebagai "Friday" (hari bebas) karena keesokan harinya banyak orang yang berkumpul bersama keluarga menikmati suasana kebersamaan dan kehangatan selepas rutinitas bekerja selama lima hari.