Gaduh soal doa yang dimunajatkan seorang perempuan yang dikenal ustazah di salah satu kegiatan Munajat 212, mungkin saja menuai berkah bagi yang meyakininya dan musibah bagi yang tidak meyakininya. Berkah, berarti memberikan harapan secara politik bahwa doa itu bisa lebih meyakinkan dan memberi semangat kepada kelompok pendukung salah satu capres dan menjadi musibah, karena doa itu kental nuansa politik bahkan dinilai provokatif karena keluar dari kaidah berdoa yang seharusnya.Â
Doa tentu saja untaian kalimat yang indah dan tak ada kalimat terindah selain doa. Jadi, jika ada doa yang dimunajatkan tak ada keindahan didalamnya, dipastikan itu doa buatan yang dipaksakan hanya untuk tujuan tertentu.
Doa dalam pengertiannya yang paling sederhana adalah "permintaan" atau "permohonan" yang dalam ini konteksnya khusus hanya kepada Tuhan. Ada proses dialogis dalam suatu doa ketika itu disampaikan kepada Tuhan. Proses dialogis tersebut tentu saja hanya dapat dicapai oleh seseorang ketika dirinya berdoa dalam kondisi khusyuk.Â
Bahkan dalam hal-hal tertentu, doa lebih banyak mencerminkan "proses dua arah" antara seorang hamba dengan Tuhannya. Maka, entitas doa akan menggambarkan suatu kondisi yang teramat dekat antara seseorang yang berdoa dengan entitas yang ingin disampaikannya sebagai pengabul doa, yaitu Tuhan.
Berdoalah apa saja, karena pasti Tuhan akan menjawab (ijabah). Tuhan sebenarnya bukan mengabulkan, tetapi akan menjawab setiap doa siapapun yang dimunajatkan. Jawabannya, itu terserah Tuhan, karena Tuhan jelas Maha Tahu setiap keinganan hamba-hambanya yang beriman.Â
Terkadang doa tidak dijawab langsung oleh Tuhan, atau mungkin saja doa itu dijawab dalam bentuk lainnya yang hampir kita yang seringkali berdoa tak pernah menyadarinya. Pun ketika doa itu belum dijawab oleh Tuhan, maka Dia akan menangguhkan doa-doa manusia nanti pada suatu Hari Yang Dijanjikan. Tapi, yang pasti semua doa pasti akan dijawab Tuhan apapun bentuk doa tersebut.
Ada sebuah hikayat, dimana dua orang ulama besar bertemu pada suatu kegiatan. Ulama yang pertama adalah perempuan, seorang sufi besar, bahkan dikenal sebagai satu-satunya sufi wanita dalam sejarah, yaitu Rabiah Adawiyah. Yang kedua adalah ulama fiqih, ahli hukum, dan ahli hadis, bernama Sufyan Tsauri.Â
Rabiah meminta Sufyan untuk berdoa, karena memang umumnya dan seharusnya yang berdoa laki-laki apalagi dalam konteks berkumpulnya orang banyak, karena laki-laki tentu saja lebih utama dalam berdoa dalam suatu perkumpulan dibanding wanita, begitulah diktum agama Islam dalam membedakan posisi antara laki-laki dan perempuan, terlebih jika dalam suatu perkumpulan dimana laki-laki yang lebih sah menjadi imam dibanding wanita.
Ketika Sufyan didaulat berdoa, ia menyebut dalam doanya, "Ya Allah, ridailah kami". Belum selesai Sufyan membaca doanya, sang sufi besar menegurnya. "Wahai Sufyan, kenapa engkau meminta Allah meridai kami?". Lalu, Sufyan bertanya, "Saya tidak mengerti maksud anda, karena biasanya saya berdoa seperti itu".Â
Rabiah kemudian berkata, "Sudahkah engkau rida kepada Allah, sehingga engkau meminta rida-Nya? Jangan engkau terus meminta rida Allah, padahal engkau sendiri belum tentu rida kepadanya". Sufyan terheran, "Saya belum mengerti maksud anda?" Rabiah menjawab, "Selama ini engkau hanya rida terhadap kebaikan yang diberikan Allah, tetapi engkau tidak rida atas apa yang ditimpakan Allah sebagai keburukan. Doa itu baru akan dijawab, ketika keridaanmu terhadap musibah sama dengan keridaanmu ketika mendapat nikmat".
Jadi, kunci doa yang dijawab Tuhan selaras dengan versi cerita antara Sufyan Sauri dan Rabiah Adawiyah adalah karena adanya keridaan bersama, dimana orang yang berdoa selalu rida akan apapun keputusan, yang baik dan yang buruk, baru kita dapat memohon agar Tuhan meridai kita. Bagaimana kita berdoa sedangkan kita sendiri belum mampu rida atas keputuan Tuhan sendiri? Lalu kita menuntut agar Tuhan meridai kita? Dan masih banyak persyaratan-persyaratan lainnya dalam berdoa, dimana salah satunya adalah terhubungnya (muttashil) hati seseorang kepada Tuhannya dengan keikhlasan, bukan keinginan atas dikabulkan doanya.
Melihat doa seorang yang dikenal ustazah di atas panggung Munajat 212 dengan memohon agar dimenangkan dalam pemilu, sebetulnya sah-sah saja dan tidak perlu dipolemikkan, mengingat doa itu memang bermotif politik. Mungkin saja sebagai ustazah yang paham benar ilmu agama, dirinya tahu bahwa doa itu adalah permohonan seorang hamba kepada Tuhannya.
 Dan dia tentu saja memahami bahwa banyak dalil-dalil Alquran yang memerintahkan agar setiap orang berdoa, sebab Tuhan itu dekat dan hanya dapat didekati dengan doa. Tetapi, mungkin dia lupa, bahwa doa dalam konteks bersama yang didalamnya ada laki-laki dan perempuan, maka doa laki-laki lebih utama dan lebih memenuhi syarat dijawabnya doa oleh Tuhan dibanding laki-laki.
Tapi tak mengapa, doa apapun dibolehkan, selama memenuhi unsur sama-sama rida antara seorang hamba yang berdoa dengan Tuhannya. Namun, apakah sang ustazah itu sudah rida terhadap Tuhannya dengan mengungkapkan doa seperti itu? Jika diucap kalimat, "Jangan, jangan Engkau tinggalkan kami dan tak menangkan kami. Karena jika Engkau tidak menangkan...", berarti di kalimat pertama tidak rida kepada Tuhan karena memaksa Tuhan agar tidak meninggalkan, dan kalimat kedua juga tidak rida kepada Tuhan, jika tidak memenangkan.Â
Mungkin ustazah ini perlu belajar lebih jauh, bagaimana etika berdoa dan doa yang paling baik adalah doa yang berasal dari Alquran dan hadis Nabi Muhammad saw. Untuk meniru Rabiah Adawiyah, boleh juga sih, tapi Rabiah itu tokoh tasawuf yang jauh dari dunia sedangkan politik adalah urusan dunia. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H