Melihat doa seorang yang dikenal ustazah di atas panggung Munajat 212 dengan memohon agar dimenangkan dalam pemilu, sebetulnya sah-sah saja dan tidak perlu dipolemikkan, mengingat doa itu memang bermotif politik. Mungkin saja sebagai ustazah yang paham benar ilmu agama, dirinya tahu bahwa doa itu adalah permohonan seorang hamba kepada Tuhannya.
 Dan dia tentu saja memahami bahwa banyak dalil-dalil Alquran yang memerintahkan agar setiap orang berdoa, sebab Tuhan itu dekat dan hanya dapat didekati dengan doa. Tetapi, mungkin dia lupa, bahwa doa dalam konteks bersama yang didalamnya ada laki-laki dan perempuan, maka doa laki-laki lebih utama dan lebih memenuhi syarat dijawabnya doa oleh Tuhan dibanding laki-laki.
Tapi tak mengapa, doa apapun dibolehkan, selama memenuhi unsur sama-sama rida antara seorang hamba yang berdoa dengan Tuhannya. Namun, apakah sang ustazah itu sudah rida terhadap Tuhannya dengan mengungkapkan doa seperti itu? Jika diucap kalimat, "Jangan, jangan Engkau tinggalkan kami dan tak menangkan kami. Karena jika Engkau tidak menangkan...", berarti di kalimat pertama tidak rida kepada Tuhan karena memaksa Tuhan agar tidak meninggalkan, dan kalimat kedua juga tidak rida kepada Tuhan, jika tidak memenangkan.Â
Mungkin ustazah ini perlu belajar lebih jauh, bagaimana etika berdoa dan doa yang paling baik adalah doa yang berasal dari Alquran dan hadis Nabi Muhammad saw. Untuk meniru Rabiah Adawiyah, boleh juga sih, tapi Rabiah itu tokoh tasawuf yang jauh dari dunia sedangkan politik adalah urusan dunia. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H