Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Salat Jumat

15 Februari 2019   10:45 Diperbarui: 15 Februari 2019   11:27 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Denga demikian, politik semestinya dikonotasikan secara baik dan seragam, sebagai bagian dari upaya penyadaran masyarakat akan hak-hak mereka, kepentingan-kepentingannya, termasuk kesempatan mereka yang luas untuk berbuat baik dan beramal melalui ilmu pengetahuan. 

Sedangkan, politik-kekuasaan tentu saja identik dengan keuntungan materi yang bersifat keduniaan, sebab yang diperoleh setiap orang hanyalah jabatan, kemewahan, kehormatan, dan tentu saja pendapatan materi yang dramatis bahkan fantastis. Lalu, jika ada momen salat Jumat yang "dipolitisasi" seperti zaman Nabi, masihkah itu menjadi kontroversi?

Dalam konteks kekinian, terlebih ditengah sublimasi tahun politik, sensitifitas masyarakat soal politik tentu saja menguat. Bahkan, hal ini bukan tidak mungkin didorong oleh kecenderungan yang teramat rumit terhadap ragam pilihan politik yang dikotomis. Ada hal-hal yang teramat sulit untuk dilakukan, karena dalam konteks apapun selalu saja dihubungkan dengan sikap kecondongan terhadap pilihan politik tertentu. 

Pemberitaan yang ramai menyoal capres Prabowo Subianto yang akan salat Jumat di Masjid Kauman, tentu saja menyedot perhatian publik karena sudah tentu akan ada muatan-muatan politik didalamnya, namun apakah itu terbukti? Kita memang terlampau sensitif, bahkan saking sensitifnya dugaan-dugaan dan asumsi-asumsi sudah lebih dulu menjadi pembenaran secara liar, seolah kita ini terjerat dalam situasi "post-truth" yang menggelikan.

Jumatan politik seolah menjadi diksi yang menakutkan bagi sebagian pihak, dimana seolah-olah nilai kesakralan salat akan tergusur oleh kedatangan seseorang yang notabene pemimpin politik. Padahal, sudah sejak dulu para politisi juga salat Jumat di daerah konstituennya lalu dengan secara sadar memberikan pengaruh politik atau paling tidak menunjukkan dalam suasana politik yang tidak lagi sakral dalam suasana Jumat dengan menunjukkan dirinya adalah muslim yang baik. 

Jumatan dijadikan ajang peningkatan citra diri yang ekslusif bahkan mungkin saja sebelumnya telah ada spanduk atau pamflet yang mengumumkan bahwa masjid ini akan dihadiri oleh seorang caleg yang akan memperjuangkan nasib rakyat di daerahnya.

Bagi saya, politisasi itu tak selalu dinilai buruk, terlebih ketika melihat pada realitas sejarah ketika Nabi Muhammad berkhutbah pada salat Jumat pertama kalinya di Madinah. Banyak diksi kepolitikan yang dikutip dalam serangkaian hadis yang tersebar soal pidato Nabi ini, namun tak ada yang menyangkal bahwa itu merupakan bagian dari "politisasi" Nabi untuk membentuk dan menciptakan umat yang lebih mementingkan akhirat daripada dunia. 

Sekalipun saya termasuk yang tidak menyetujui jika Jumatan menjadi ajang ujaran kebencian dan pemanfaatan untuk mobilisasi kritik terhadap kekuasaan, namun soal Jumatan salah satu capres yang sedianya akan dilakukan di Yogyakarta, jangan terlampau dilebih-lebihkan, apalagi dinilai sebagai kampanye politik.

Hari Jumat merupakan hari suci bagi umat Islam, karena selain hari terakhir dalam kurun satu minggu dimana seluruh catatan amal setiap orang disetorkan para malaikat kepada Tuhan, Jumat merupakan hari yang diyakini umat Islam sebagai hari paling sakral, karena prediksi soal kiamat yang jatuh di hari Jumat tak terbantahkan. 

Bagi mereka yang meyakini soal kesakralan hari Jumat, maka sudah semestinya dijadikan momen terbaik untuk saling mengingatkan satu sama lainnya soal ketakwaan, sebab satu-satunya entitas yang terkumpul didalamnya seluruh kebaikan hanyalah takwa. Tak ada perbedaan dalam seluruh manusia, baik jabatan, kedudukan, kekayaan, status sosial, capres, politisi, atau apapun, kecuali hanya takwa yang memiliki nilai tertinggi dihadapan Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun