Pilpres 2019 kali ini memang selalu menyisakan suasana yang mengharukan, bahkan mungkin juga sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak, suasana berkompetisi dalam ajang pergantian kekuasaan terasa telah jauh melampaui batas-batasnya.Â
Tak hanya sebatas pertarungan para politisi, tetapi juga medan "pertempuran" seluruh masyarakat, baik simpatisan, apatisan, para ahli agama, kaum liberalis, akademisi, kelompok radikalis-ekstrimis, dan mungkin masih banyak lagi.Â
Warna kepolitikan di Pilpres kali ini tentu saja campur aduk, bahkan telah "diaduk-aduk" sehingga hampir-hampir akal sehat terlampau sulit membedakannya. Balada Pilpres serasa mengharu-biru, menghadirkan sejumput harapan, namun atas dasar realitas saling serang yang seringkali berujung pada konteks ujaran kebencian, semangat kedengkian, atau apa saja yang mendramatisasi kepolitikan ini.
Banyak diantara para politisi "pembelot" membuat ramai ajang kontestasi politik, belum lagi ditambah para simpatisan dan "fanatikan" politik yang gandrung membuat kegaduhan.Â
Perseteruan antarpolitisi menjadi bagian paling renyah untuk diangkat media, seolah makanan siap saji dimana desert-nya adalah "hidangan penutup" yang dinikmati melalui citra buruk yang terbangun diantara para kandidatnya yang tengah berlaga.Â
Untuk meningkatkan gairah kekuasaan agar terkesan lebih nikmat, bumbu-bumbu keagamaan, ideologi, bahkan nilai tradisi dan budaya dipergunakan bahkan mungkin menjadi "bumbu penyedap" istimewa yang paling ampuh dalam membangun selera politik.
Itulah kenapa istilah "goreng-menggoreng" dalam konteks politik kekinian seringkali dimaknai sebagai bentuk manipulasi, tak ubahnya model makanan yang dimodifikasi dengan beragam bentuknya.Â
Masyarakat awam tentu saja menjadi penikmat sejati dari berbagai olahan sajian politik, hasil kreativitas para "koki politisi" yang saling bertukar ambisi. Selera masyarakat yang sedemikian tinggi terhadap politik, semakin bersemangat ketika "bumbu politik" justru ditebarkan. Politik cepat saji memang menjadi menu andalan utama masyarakat kekinian, karena selain serba cepat pragmatisme tentu saja penghapus rasa dahaga dan lapar masyarakat.
Balada Pilpres ternyata tak hanya sebatas informasi "politik" yang sedemikian mudah disantap, atau diolah sedemikian rupa menjadi menu baru kepolitikan yang siap saji.Â
Anehnya, informasi soal  musibah saja sering menjadi sasaran empuk bagi para "koki politisi" untuk diolah kembali menjadi "sepotong" informasi baru dan siap dilempar ke publik. Ini bukan lagi soal darurat hoaks, atau informasi yang kerap terdistorsi akibat disisipi bumbu-bumbu fitnah pelipur lara yang tujuannya  memenangkan kontestasi.Â
Namun, hal ini jelas terkait dengan perubahan mindset kepolitikan secara besar-besaran, menyasar kepekaan toleransi setiap orang yang memang mulai surut, mencerabut daya kritis berdasarkan akal sehat, bahkan lebih jauh lagi, bertenaga untuk menghancurkan ikatan-ikatan solidaritas sosial secara sadar maupun tidak.