Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Solidaritas dalam Hal Kekerasan, Kok Bisa?

13 Desember 2018   13:12 Diperbarui: 13 Desember 2018   13:38 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mungkin seperangkat teori solidaritas sosial yang awalnya dipopulerkan Emile Durkheim dengan mengungkap bahwa setiap kelompok masyarakat atau komunitas akan membangun suasana saling percaya yang didorong oleh persamaan latar belakang atau keyakinan, lalu mewujud dalam bentuk pertanggungjawaban bersama untuk saling menjaga, menghormati, bahkan ikut memperhatikan kepentingan sesamanya, mungkin saja kehilangan relevansinya ditengah "solidaritas kekerasan" yang ditunjukkan sekelompok orang ketika bersama-sama berbuat kerusakan. 

Anehnya, aparat yang selalu menunjukkan solidaritasnya dalam soal penegakan hukum, justru diserbu bahkan kantornya dirusak oleh sekelompok orang yang juga berbuat atas nama "solidaritas".

Peristiwa perusakan dan pembakaran Polsek Ciracas oleh sekelompok orang yang mengaku terdorong rasa solidaritas karena sesama rekannya disakiti, mungkin contoh paling nyata suatu solidaritas dalam hal kekerasan. Tak ada motif lain yang mendorong sekian banyak orang melakukan aksi penyerbuan, perusakan, dan bahkan pembakaran kecuali nilai-nilai solidaritas yang sejauh ini mereka pahami. 

Mungkin ada benarnya ketika ada sebuah pepatah, "gara-gara nilai setitik, rusak susu sebelangga" yang mungkin tepat memotret kondisi aksi solidaritas dalam hal kekerasan yang pada akhirnya merusak semua nilai solidaritas kekelompokannya hanya karena membela satu orang yang bermasalah.

Saya tentu saja ikut menepuk dahi, bagaimana bisa solidaritas dipergunakan dalam hal-hal berbuat  kerusakan? Apakah ada yang salah dengan teori solidaritas sejauh ini? Tapi memang sejauh ini menjadi kenyataan dibanyak beberapa kelompok sosial yang membangun solidaritasnya sendiri tetapi justru bertujuan untuk melakukan intimidasi, meneror, menakut-nakuti, dan semacamnya  kepada kelompok tertentu atau pihak lainnya. 

Jika solidaritas ternyata lebih mengarah kepada aksi "fanatisme buta" kekelompokkan tentu saja ini sebatas bentuk patologi sosial atau bahkan bisa jadi  "penyimpangan sosial" jika memang sengaja dilakukan untuk tujuan-tujuan memecah-belah bukan mempererat solidaritas sosial secara lebih luas.

Tak perlu jauh-jauh saya kira, kemunculan sedemikian banyak ormas ditengah masyarakat justru bukan memperkuat nilai-nilai solidaritas, dengan menjaga atau melindungi sesamanya, tetapi yang terjadi malah arogansi identitas yang bahkan selalu ingin mendapatkan pengakuan secara sosial. 

Bukankah banyak cerita yang beredar di masyarakat, dimana banyak ormas yang melakukan intimidasi dengan cara pungli terhadap para pedagang kecil, juru parkir, pengusaha "kelas jalan raya", bahkan mungkin ada saja yang sekelompok penagih utang yang tidak "solider" ketika ditugaskan perusahaan tertentu untuk menagih utang kepada masyarakat.

Barangkali yang lebih mengharukan lagi soal solidaritas yang dibangun antarsesama anak bangsa dalam kelompok elit masyarakat terdidik, bahkan mereka dilatih secara ketat soal bagaimana mempertahankan dan membela negara dan rakyatnya. Namun rupanya, suasana solidaritas itu dipahami dan dibangun secara sempit sebatas ikatan emosional yang pada akhirnya melahirkan sikap "ekslusivisme" yang seringkali bertindak arogan ketika salah satu anggota dalam kelompok solidaritasnya terganggu. 

Solidaritas terjun bebas, menjadi pecahan-pecahan emosional pribadi yang menyatu dalam fanatisme buta kekelompokkan yang justru menjauhi nilai-nilai solidaritas itu sendiri.

Berbagai rentetan peristiwa yang memicu aksi solidaritas kekelompokan atau komunal lebih sering menimbulkan konflik dan kekerasan sosial daripada menciptakan perdamaian dan kenyamanan publik. Mungkin saja hal ini cermin dari gagalnya para elit menterjemahkan nilai-nilai solidaritas sosial secara lebih membumi, karena umumnya mereka yang disebut "elitis" juga hanya membangun solidaritas dengan sesama elitnya sebatas membangun kepercauaan dalam prinsip-prinsip keekomian, bisnis, politik, atau jaringan-jaringan kekuasaan. 

Itulah sebabnya, korupsi juga akibat tak langsung dari rangkaian solidaritas para elit, sehingga hanya sebagian kecil saja kasus korupsi yang kemudian diungkap aparat ke ranah publik.

Bagi saya, agama adalah contoh konkret sebuah ikatan solidaritas sosial yang kuat, bahkan melampaui batas kekelompokannya sendiri. Ajaran-ajaran agama, mengarahkan dan membimbing setiap orang untuk tidak berbuat yang merugikan orang lain, bukan atas dasar ikatan-ikatan kesamaan solidaritas agamanya, tetapi karena ikatan-ikatan solidaritas kemanusiaan secara lebih luas. 

Solidaritas memang dapat diikat melalui agama, namun pada prakteknya agama berwatak egalitarian, agar mampu menerima setiap kenyataan perbedaan sosial yang ada, termasuk kecenderungan kelompok sosial, perbedaan keyakinan, atau mungkin kenyataan elitis dalam suatu  masyarakat.

Mungkin banyak yang perlu dibenahi dari sisi solidaritas sosial yang mewujud dalam bangsa ini. Munculnya banyak kelompok yang dilatarbelakangi oleh kesamaan identitas lalu membentuk ikatan-ikatan solidaritas sosial, belum sepenuhnya bermanfaat banyak bagi masyarakat. Alih-alih mempererat antarikatan solidaritas sosial, kelompok-kelompok tertentu yang bersifat komunal justru membangun ikatan-ikatan sosial baru yang lebih ekslusif bahkan cenderung sekadar mempertontonkan identitas kelompoknya agar mendapatkan pengakuan dari publik. 

Saya kira, ini beban moral bagi negara dan khususnya telah ada lembaga penguatan Pancasila yang sejauh ini diproyeksikan untuk pembinaan penguatan mental solidaritas kebangsaan berdasarkan kesamaan ideologi negara, Pancasila.

Saya kira, masyarakatpun telah merasa jenuh dengan kenyataan yang ada, dimana penguatan atas nilai-nilai solidaritas hanya sebatas kekelompokan yang diikat secara emosional bukan rasional. 

Hal ini menjadi persoalan bangsa yang semakin serius, dimana mempertahankan ikatan-ikatan solidaritas sosial yang lebih luas berdimensi kesatuan dan kebangsaan jauh lebih penting ketimbang gaung soal solidaritas yang berhenti dalam acara-acara seremonial yang terkesan simbolik. Kita tentu tak perlu menuduh siapa yang paling bertanggungjawab, kecuali hanya pasrah lalu menuding beberapa "oknum" yang terlibat dan semua urusan dianggap selesai. Mungkin sulit menjawab pertanyaan diatas, memang ada solidaritas dalam hal kekerasan? Jika memang ada, berarti mungkin ada yang salah dalam soal memahami solidaritas sosial.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun