Saya kira, puisi Fadli Zon juga sedang berupaya merebut simpati pemilih muslim dengan menunjukkan bahwa kubu lawan juga lemah dari sisi agamanya.
Jika Jokowi selalu disebut-sebut sebagai seorang muslim yang baik oleh para pendukungnya, bahkan cawapresnya Ma'ruf Amin pernah berseloroh soal kesantrian Jokowi, seperti sedang "dilawan" oleh puisi Fadli.Â
Politik pada akhirnya semakin membuka "kelemahan" masing-masing kubu kontestannya dan hal itu tentu saja melibatkan pribadi seseorang bahkan tingkat kesalehannya yang diukur dari fasih atau tidaknya, salah atau benarnya dalam menarasikan entitas keislaman.
Padahal, soal lagu yang salah diucapkan salah, mestinya tak berpengaruh dibandingkan ketika menyebut nama Rasulullah yang sakral bagi umat Islam.
Itulah resikonya ketika agama terus dijadikan "kosmetikasi" dalam ajang politik, sehingga ukuran-ukuran keagamaan semakin tidak rasional ketika dibenturkan dengan kenyataan politik para kandidatnya. Agama yang seharusnya bersifat individual dan primordial, justru berubah ketika dihadirkan dalam realitas sosial, bahkan mungkin kehilangan kesakralannya ketika ia dijadikan sekadar alat kosmetikasi politik kekuasaan.Â
Yang menyedihkan, agama yang semestinya menjadi "tuntunan" kini sekadar "tontonan" bahkan cemoohan banyak orang yang mengaku sebagai pribadi yang beragama.
Bukan tidak mungkin, istilah "jaenudin nachiro" yang dimaksud dalam puisi Fadli juga bentuk cemoohan kepada orang yang beragama sama dengan dirinya.Â
Politik kekuasaan ternyata menggerus nilai moralitas keagamaan dan agama sekadar dipergunakan menjadi alat politik untuk saling menjatuhkan, bukan saling mengingatkan dalam hal kebaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H